1.
PUTUSAN NOMOR
001-021-022/PUU-I/2003 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2002
TENTANG KETENAGALISTRIKAN.
-Kapasitas Pemohon:
Pemohon
mendudukan diri pada dua posisi yang berbeda yaitu, di satu sisi bertindak
untuk dan atas nama organisasi karyawan Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero),
dan di sisi lain bertindak sebagai perorangan.
-Alasan MK pemohon memiliki legal standing:
Pemohon I, Pemohon II, maupun Pemohon
III mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Karena Para Pemohon dalam permohonan a quo dapat dikualifikasikan
sebagai berikut:
Ø
Para
Pemohon APHI, PBHI, dan Yayasan 324, yang dapat dikualifikasikan sebagai badan
hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan warga negara Indonesia,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon I, yang mendalilkan bahwa hak
konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
menganggap dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan
Ø Pemohon dalam Perkara No.
021/PUU-I/2003 adalah Serikat Pekerja (SP) PT. PLN yang dapat dikualifikasikan
sebagai badan hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan warga negara Indonesia,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon II, yang mendalilkan bahwa hak
konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2),
Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 54 ayat (3) UUD
1945 dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan
Ø Pemohon dalam
Perkara No. 022/PUU-I/2003 adalah Ir. Januar Muin dan Ir. David Tombeg yang
dapat dikualifikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya
disebut Pemohon III yang menganggap UU Ketenagalistrikan merugikan hak-hak
konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal
28H ayat (1) UUD 1945.
Ø Para Pemohon, baik
sebagai konsumen tenaga listrik (Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III),
maupun sebagai kelompok orang yang mempunyai hubungan emosional dengan PLN
(Perusahaan Listrik Negara) berkepentingan terhadap pengelolaan tenaga listrik
yang berorientasi kepada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan merasa
sangat dirugikan hak konstitusionalnya apabila tenaga listrik sebagai cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak dikuasai
oleh negara dan tidak berorientasi kepada kepentingan public.
Ø Kerugian bersifat
potensial, karena menurut MK setiap
warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan
setiap undang-undang yang terkait dengan bidang perekonomian yang mempengaruhi
kesejahteraannya.
- Apakah ketentuan UU
yang diajukan oleh Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
Keseluruhan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
- Apa
argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU yang diajukan bertentangan dengan UUD
1945?
Ø
Pilihan konsumen
sangat bergantung kepada posisi geografis konsumen dan posisi jaringan
distribusi secara fisik yang telah tersedia.
Ø
Mutu pasokan tenaga
listrik sangat bergantung kepada kondisi jaringan yang di tangani oleh Badan
Pengelola Sistem.
Ø
Ketidakpastian Hukum
terhadap Masyarakat sebagai Calon Pelanggan.
Ø
Ketidakpastian
Hukum terhadap Masyarakat atas Harga Listrik
Ø
Ketidakpastian Hukum
Berkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya.
2.
PUTUSAN NOMOR
058-059-060-063/PUU-II/2004, DAN PERKARA NOMOR 008/PUU-III/2005 MENGENAI
PENGUJIAN UU NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR.
-Kapasitas Pemohon.
Kapasitas pemohon sebagai Badan hukum privat
-
Apakah MK menyatakan pemohon memiliki legal
standing? Apa alasan MK?
Pemohon memliki kedudukan hukum (legal standing) yang telah
menjadi pengetahuan umum sebagai Pemohon pengujian undang-undang karena keberlakuan
UU No.7 Tahun 2004 yang merugikan hak konstitusional para Pemohon yang dijamin
dan dilindungi dalam UUD 1945.
-
Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh
Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
UU No.7 Tahun 2004 bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena:
-
Apa argumentasi
Pemohon bahwa ketentuan UU yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø UU No.7 Tahun 2004
memberikan kesempatan tanpa ada batasan yang jelas pengusahaan air oleh swasta
(privatisasi) dalam sektor air yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Ø UU No.7 Tahun 2004
tidak memberikan batasan sama sekali kepemilikan modal asing dalam
penyelenggaraan sistem air minum dan pengelolaan air.
Ø aktivitas masyarakat
dalam menggunakan air non usaha untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian
rakyat akan semakin sempit dengan adanya batasan Hak Guna Pakai.
Ø dengan adanya batasan
penggunaan air non usaha maka ketersediaan (alokasi) air untuk kepentingan
komersial semakin besar. Ini merupakan bentuk komesialisasi atas sumber-sumber
air.
Ø sumber-sumber air yang
diusahakan bersama oleh masyarakat setempat dan kelompok masyarakat adat dapat
dikuasai oleh swasta yang mendapatkan Hak Guna Usaha dari Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
3.
PUTUSAN NOMOR
20/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG
MINYAK DAN GAS BUMI.
-Kapasitas Pemohon
Para pemohon selaku perorangan
warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI.
-
Apakah MK menyatakan pemohon memiliki legal
standing? Apa alasan MK?
Para Pemohon sebagai perorangan
warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi
kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, sehingga
tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan pengujian
undang-undang a quo.
-
Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh
Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
Materi UU Migas yang dimohon
untuk diuji, adalah Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang
bunyinya sebagai berikut, “Setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani
harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia”. Ketentuan mana dianggap telah bertentangan dengan pasal-pasal:
1.
Pasal 11 Ayat (2);
2.
Pasal 20 Ayat (1);
3.
Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
-
Apa argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU
yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø Adanya Ayat, Pasal
atau Bagian UUD 1945 yang Dilanggar
Ø Materi Muatan UU Migas
yang bertentangan dengan UUD 1945 Materi Muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang
berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan
secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” bertentangan
dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat
(4) UUD 1945.
a.
Bahwa
sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut di atas, Perjanjian
atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pemerintah cq. BP MIGAS dengan
pihak Kontraktor usaha minyak dan gas bumi hanya diberitahukan secara
tertulis kepada DPR-RI, setelah perjanjian tersebut ditandatangani,
bukannya terlebih dahulu dimintakan persetujuan kepada DPR-RI. Dalam hal ini,
pihak DPR-RI secara pasif hanya menerima salinan atau fotokopi
kontrak/perjanjian yang sudah selesai ditandatangani oleh Pemerintah cq.
BP MIGAS dengan pihak Kontraktor;
b.
Bahwa
faktanya, salinan atau fotokopi kontrak-kontrak kerja sama yang dikirimkan ke
DPR-RI cq. Komisi yang membidangi Minyak dan Gas Bumi itupun baru
dikirimkan berselang cukup lama setelah penandatanganan kontrak atau perjanjian
antara pihak Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor. Misalnya Kontrak
Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Lasmo Indonesioa Limited dan Unocal Muara
Bakau, Ltd yang telah ditandatangani pada 30 Desember 2002, namun
baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide
Bukti P-11), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Sebana, Ltd yang
telah ditandatangani pada 14 Oktober 2003, namun baru dikirim/diterima oleh
DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-112), Kontrak
Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Tately N.V. (Company No.87301) yang telah
ditandatangani pada 30 Desember 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq.
Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-13);
c.
Bahwa
KKS yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yakni Kontrak Bagi
Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi (kegiatan
yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan
dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang
ditentukan) dan Eksploitasi (rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang
terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi
di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya) yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
d.
Bahwa
kontrak-kontrak atau perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor nyata-nyata
menimbulkan pendapatan atau minimal potensi pendapatan yang sangat besar bagi
negara. Sebagai contoh antara lain:
1) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Lasmo Indonesia Limited dan Unocal
Muara Bakau, Ltd. tertanggal 30 Desember 2002 dengan area kontrak Muara
Bakau (vide Bukti P-11);
2) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Sebana Ltd. tertanggal 14
Oktober 2003 dengan area kontrak Bulu (vide Bukti P-12);
3) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dengan Santos (NTH Bali I) Pty. Ltd.
tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North Bali I;
4) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemone Ltd. dan Petrovietnam
Investment & Development Company dan SK Corporation tertanggal
14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East Madura I;
5) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemtwo Ltd. dan Petrovietnam
Investment & Development Company tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area
kontrak North East Madura II;
6) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Provident Indonesia Energy LLC tertanggal
14 Oktober 2003 dengan area kontrak Tarakan Offshore Block;
7) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately N.V. (Company No.87301)
tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Palmerah (vide BUkti
P-13);
8) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Pearloil (Salawati) Limited
tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak West Salawati;
9) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Elnusa Bangkanai Energy Ltd.
tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Bangkanai;
10) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Halmahera Petroleum Limited tertanggal
30 Desember 2003 dengan area kontrak Halmahera;
e.
Bahwa
di lain pihak, ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 secara tegas mensyaratkan
bahwa segala perjanjian internasional lain (selain perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945, yakni
perjanjian internasional terkait dengan pernyataan perang, perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain), sejauh perjanjian internasional tersebut
menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, maka perjanjian internasional sedemikian, menurut UUD 1945,
sebelum ditandatangani oleh Presiden/Pemerintah, harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan DPR-RI, bukan hanya sekadar pengiriman salinan atau copy
perjanjian atau kontrak secara tertulis saja yang dikirimkan kepada DPR-RI;
f.
Bahwa
filosofi dasar harus disetujuinya setiap perjanjian internasional sebagaimana
dimaksud Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa secara materiil dan secara
formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau
ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI,
sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
g.
Hal
tersebut adalah sangat logis dan mendasar mengingat konsep dasar yang dibangun
oleh UUD 1945 adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu
mengedepankan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan rakyat, sehingga karenanya
segala tindakan Pemerintah yang terkait atau membawa akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat luas harus mendapatkan persetujuan DPR-RI sebagai lembaga
negara yang sah mewakili rakyat;
h.
Bahwa
dengan tanpa disetujuinya terlebih dahulu perjanjian-perjanjian yang akan
ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor
tersebut, maka:
1. DPR-RI
menjadi tidak dapat mengetahui dan mengawasi lebih awal berapa banyak kontrak-kontrak
yang dilakukan oleh Pemerintah cq. BP MIGAS, dan seberapa besar
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi
tersebut. Akibatnya, DPR-RI tidak dapat mengetahui seberapa besar hasil
pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi memberikan
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2.
Faktanya, ternyata dari kontrak-kotrak yang ada, nampak jelas betapa besarnya
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi
dan air Indonesia, yang apabila tanpa dikelola secara baik dan benar serta
diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan
sangat berpotensi merugikan Negara, yang berarti tidak memberikan kesejahteraan
dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
3.
Ketiadaan persetujuan DPR-RI tersebut, mengakibatkan hilang dan terlanggarnya
hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan kekayaan alam yang ada di bumi dan
air Indonesia yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Di samping itu, tanpa adanya persetujuan
DPR-RI, mengakibatkan hilangnya hak konstitusional para Pemohon untuk ikut
mengawasi pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi, apakah
telah dikelola, dilaksanakan dan diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
i.
Bahwa
lebih jauh lagi, ukuran atau tolok ukur dari perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat, sehingga harus dengan persetujuan DPR-RI sebagaimana dimaksud oleh
ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, yaitu: - Terkait dengan beban keuangan
negara; dan/atau
-
Mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
1) Terkait
dengan beban keuangan negara, berarti ada uang atau pengeluaran yang harus
dikeluarkan oleh negara yang dapat menjadi beban rakyat atau negara harus
mengeksploitasi sumber daya alamnya untuk menutupi beban keuangan negara yang
terjadi;
2) Mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-undang. Dalam hal ini Undang-Undang
tentang APBN, dimana ada kejadian yang sedemikian rupa menimbulkan pendapatan
negara yang sangat besar sehingga merubah atau setidak-tidaknya mempengaruhi
sisi pendapatan APBN. Artinya, dalam hal terjadi suatu pendapatan yang sangat
besar di luar yang tercantum dalam Undang-Undang tentang APBN yang telah
disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, maka Undang-Undang APBN tersebut harus
diubah untuk menyesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang baru tersebut,
dan hal ini juga akan berakibat atau mengakibatkan perubahan APBN pada sisi pengeluaran
atau belanja negara;
j.
Sesuai
dengan fakta tersebut di atas, kontrak-kontrak/KKS tersebut telah menimbulkan
tambahan pendapatan negara yang luar biasa besar dan signifikan sehingga
mempengaruhi atau menyebabkan perubahan Undang-Undang APBN pada sisi
pendapatan, dan juga secara langsung merubah komposisi APBN pada sisi belanja
negara. Dengan demikian, perjanjian-perjanjian antara BP MIGAS dengan
Kontraktor tersebut, secara konstitusional harus mendapatkan persetujuan DPR-RI
yang dalam hal ini diwakili oleh para Anggota DPR-RI.
k.
Bahwa
lebih jauh lagi, kekayaan negara yang sangat besar dari sektor minyak dan gas
bumi yang dikelola oleh BP MIGAS tersebut, menimbulkan potensi kerugian negara
yang sangat besar jika tidak dikelola secara benar, efisien dan efektif.
l.
Namun
demikian, faktanya tidak ada satupun lembaga negara atau intitusi yang dapat
melakukan tindakan pre-emptive atau preventive (pencegahan) untuk
menghindari kerugian keuangan negara akibat salah kelola atau pengelolaan yang
tidak efisien oleh Pemerintah cq. BP MIGAS atas keuangan negara yang
sangat besar tersebut sebagai suatu bentuk pengawasan atas pengelolaan kekayaan
negara. Bahkan pengawasan secara dinamis pasca penandatanganan kontrak dan
implementasinya di lapangan, faktanya juga sangat sulit untuk dilakukan karena
prosedur permintaan data/keterangan maupun pengiriman salinan atau fotokopi
kontrak yang relatif lambat dan berbelit-belit. Sehingga terkesan kuat bahwa BP
MIGAS telah menjadi suatu lembaga super body yang tidak dapat
dikontrol/diawasi oleh pihak manapun juga. Hal tersebut tercermin dari
kewenangan atau tugas dari BP MIGAS yang begitu besar, yaitu antara lain:
- Penyiapan
dan penawaran wilayah kerja serta KKS oleh BP MIGAS;
-
Penandatanganan KKS;
-
Persetujuan atas rencana kerja dan anggaran;
-
Monitoring pelaksanaan KKS;
-
Penunjukan penjual minyak bumi dan/atau gas alam bagian negara;
-
Pelaksanaan tender-tender untuk proses eksplorasi dan eksploitasi oleh
Kontraktor;
-
Persetujuan besaran dan pembayaran Cost Recovery kepada Kontraktor.
m.
Bahwa
terkait dengan kekhawatiran banyak kalangan atas dampak dari keharusan adanya
persetujuan DPR-RI terlebih dahulu atas setiap kontrak/KKS yang akan
ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan Kontraktor, dalam
hubungannya dengan iklim atau tingkat investasi di Indonesia, maka hal tersebut
hanyalah kekhawatiran yang berlebihan mengingat hal yang menjadi perhatian
utama para investor yang akan menanamkan modal di Indonesia adalah masalah
kepastian hukum dan jaminan keamanan berinvestasi. Persetujuan DPR-RI atas
penandatanganan kontrak-kontrak/KKS antara Pemerintah cq. BP MIGAS
dengan Kontraktor jangan dilihat sebagai perpanjangan rantai birokrasi sehingga
mengakibatkan inefisiensi berinvestasi, melainkan justru lebih memperkuat
kedudukan hukum dan kepastian hukum dari kontrak/KKS. Karena dalam praktik di
negara manapun juga, justru menunjukkan bahwa kepentingan negara dan rakyat
dalam pengelolaan kekayaan negara adalah hal pokok yang harus selalu diutamakan
dan dikedepankan.
Dengan
demikian sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi bahwa ketentuan
Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang hanya mewajibkan Pemerintah cq. BP MIGAS
untuk memberitahukan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau
perjanjian yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah cq.
BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.
4.
PUTUSAN NOMOR
53/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGUJIAN UU NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK.
-Kapasitas Pemohon.
Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V
adalah perseorangan berkewarganegaraan dan rakyat Indonesia yang memiliki
kedaulatan di dalam berbangsa dan bernegara.
-
Apakah MK menyatakan pemohon memiliki legal
standing? Apa alasan MK?
Ø Menimbang bahwa pada
pokoknya Pemohon I sampai dengan Pemohon
V mendalilkan sebagai
perorangan warga negara Indonesia, sedangkan Pemohon
VI adalah badan hukum
privat, yang mempunyai hak konstitusional yang diatur
dalam UUD 1945. Hak
konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya
ketentuan pasal, ayat,
dan bagian pasal atau ayat dari Undang-Undang a quo, yang
dimohonkan oleh para
Pemohon untuk diuji. Para Pemohon merasa hak-hak
konstitusionalnya
terhalang karena tidak dapat mengajukan permohonan pembubaran
partai politik.
Setelah mencermati bukti yang diajukan para Pemohon mengenai
kedudukan hukum
masing-masing Pemohon, Mahkamah menemukan fakta sebagai
berikut:
Pemohon I sampai
dengan Pemohon V adalah perorangan warga negara Indonesia
yang memiliki
kepedulian dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui pernyataan
pendapat dan kritik
terhadap pemerintahan;
Pemohon VI mendalilkan
sebagai badan hukum privat yang merupakan organisasi
masyarakat berdasarkan
Anggaran Dasarnya bertujuan mendorong pembaharuan
50
sistem dan penegakan
hukum, memberikan pembelaan terhadap masyarakat,
menumbuhkan kesadaran
hukum terkait dengan penghormatan terhadap hak
asasi manusia,
meningkatkan kapasitas untuk memperjuangkan hak-haknya
sebagai warga negara
dan meningkatkan kerja sama dalam mendorong
pembaharuan sistem
hukum, dan penegakan hukum secara demokratis demi
mewujudkan demokrasi
konstitusional yang dibuktikan dengan keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor C-58.HT.01.03.TH.2006, yang telah
diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia tanggal 19 Januari 2007,
Nomor 6/2007, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 3/Perk/2007;
Ø Menimbang bahwa dengan
memperhatikan potensi akibat yang dialami
oleh para Pemohon
terkait dengan mekanisme pembekuan dan pembubaran
partai politik,
dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut
Mahkamah, terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi
kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, sehingga
para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) sebagai perorangan
warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
memiliki kepentingan
sama untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-
Undang a quo;
-
Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh
Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
Ketentuan Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6) UU
Parpol bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal
68 ayat (1) UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28H ayat (3), Pasal 28C ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
-
Apa argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU
yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø Korupsi di Partai
Politik dan Partai Politik yang Tidak Pro Rakyat Bertentangan dengan Tujuan
Negara.
Ø Kekuasaan Partai
Politik dalam UUD 1945 Sangat Besar dan Menentukan Masa Depan Kehidupan
Berbangsa.
Ø Pembubaran Partai
Politik oleh Rakyat Melalui Mahkamah Konstitusi Merupakan Due Process of Law.
Ø Partai Politik Tidak
Dapat di Bubarkan oleh Rakyat bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat.