Rabu, 22 Juni 2016

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 001-021-022/PUU-I/2003 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN. PUTUSAN NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004, DAN PERKARA NOMOR 008/PUU-III/2005 MENGENAI PENGUJIAN UU NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR. DAN PUTUSAN NOMOR 20/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.

1.      PUTUSAN NOMOR 001-021-022/PUU-I/2003 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN.

-Kapasitas Pemohon:
Pemohon mendudukan diri pada dua posisi yang berbeda yaitu, di satu sisi bertindak untuk dan atas nama organisasi karyawan Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero), dan di sisi lain bertindak sebagai perorangan.
-Alasan MK pemohon memiliki legal standing:
Pemohon I, Pemohon II, maupun Pemohon III mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Karena Para Pemohon dalam permohonan a quo dapat dikualifikasikan sebagai berikut:
Ø  Para Pemohon APHI, PBHI, dan Yayasan 324, yang dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Pemohon I, yang mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menganggap dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan
Ø  Pemohon dalam Perkara No. 021/PUU-I/2003 adalah Serikat Pekerja (SP) PT. PLN yang dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Pemohon II, yang mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 54 ayat (3) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagalistrikan
Ø  Pemohon dalam Perkara No. 022/PUU-I/2003 adalah Ir. Januar Muin dan Ir. David Tombeg yang dapat dikualifikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya disebut Pemohon III yang menganggap UU Ketenagalistrikan merugikan hak-hak konstitusionalnya yang tercantum dalam Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Ø  Para Pemohon, baik sebagai konsumen tenaga listrik (Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III), maupun sebagai kelompok orang yang mempunyai hubungan emosional dengan PLN (Perusahaan Listrik Negara) berkepentingan terhadap pengelolaan tenaga listrik yang berorientasi kepada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan merasa sangat dirugikan hak konstitusionalnya apabila tenaga listrik sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak dikuasai oleh negara dan tidak berorientasi kepada kepentingan public.
Ø  Kerugian bersifat potensial, karena menurut MK setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang yang terkait dengan bidang perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraannya.


- Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
Keseluruhan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

- Apa argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø  Pilihan konsumen sangat bergantung kepada posisi geografis konsumen dan posisi jaringan distribusi secara fisik yang telah tersedia.
Ø  Mutu pasokan tenaga listrik sangat bergantung kepada kondisi jaringan yang di tangani oleh Badan Pengelola Sistem.
Ø  Ketidakpastian Hukum terhadap Masyarakat sebagai Calon Pelanggan.
Ø  Ketidakpastian Hukum terhadap Masyarakat atas Harga Listrik
Ø  Ketidakpastian Hukum Berkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya.





2.      PUTUSAN NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004, DAN PERKARA NOMOR 008/PUU-III/2005 MENGENAI PENGUJIAN UU NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR.
-Kapasitas Pemohon.
Kapasitas pemohon sebagai Badan hukum privat

- Apakah MK menyatakan pemohon memiliki legal standing? Apa alasan MK?
Pemohon memliki kedudukan hukum (legal standing) yang telah menjadi pengetahuan umum sebagai Pemohon pengujian undang-undang karena keberlakuan UU No.7 Tahun 2004 yang merugikan hak konstitusional para Pemohon yang dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945.
- Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
            UU No.7 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena:
-   Apa argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø  UU No.7 Tahun 2004 memberikan kesempatan tanpa ada batasan yang jelas pengusahaan air oleh swasta (privatisasi) dalam sektor air yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Ø  UU No.7 Tahun 2004 tidak memberikan batasan sama sekali kepemilikan modal asing dalam penyelenggaraan sistem air minum dan pengelolaan air.
Ø  aktivitas masyarakat dalam menggunakan air non usaha untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat akan semakin sempit dengan adanya batasan Hak Guna Pakai.
Ø  dengan adanya batasan penggunaan air non usaha maka ketersediaan (alokasi) air untuk kepentingan komersial semakin besar. Ini merupakan bentuk komesialisasi atas sumber-sumber air.
Ø  sumber-sumber air yang diusahakan bersama oleh masyarakat setempat dan kelompok masyarakat adat dapat dikuasai oleh swasta yang mendapatkan Hak Guna Usaha dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

3.      PUTUSAN NOMOR 20/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.
-Kapasitas Pemohon
                 Para pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI.
- Apakah MK menyatakan pemohon memiliki legal standing? Apa alasan MK?
                 Para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, sehingga tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo.
- Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
                 Materi UU Migas yang dimohon untuk diuji, adalah Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang bunyinya sebagai berikut, “Setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Ketentuan mana dianggap telah bertentangan dengan pasal-pasal:
1.      Pasal 11 Ayat (2);
2.      Pasal 20 Ayat (1);
3.      Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
- Apa argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø  Adanya Ayat, Pasal atau Bagian UUD 1945 yang Dilanggar
Ø  Materi Muatan UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945 Materi Muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
a.       Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut di atas, Perjanjian atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor usaha minyak dan gas bumi hanya diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI, setelah perjanjian tersebut ditandatangani, bukannya terlebih dahulu dimintakan persetujuan kepada DPR-RI. Dalam hal ini, pihak DPR-RI secara pasif hanya menerima salinan atau fotokopi kontrak/perjanjian yang sudah selesai ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor;
b.      Bahwa faktanya, salinan atau fotokopi kontrak-kontrak kerja sama yang dikirimkan ke DPR-RI cq. Komisi yang membidangi Minyak dan Gas Bumi itupun baru dikirimkan berselang cukup lama setelah penandatanganan kontrak atau perjanjian antara pihak Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor. Misalnya Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Lasmo Indonesioa Limited dan Unocal Muara Bakau, Ltd yang telah ditandatangani pada 30 Desember 2002, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-11), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Sebana, Ltd yang telah ditandatangani pada 14 Oktober 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-112), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Tately N.V. (Company No.87301) yang telah ditandatangani pada 30 Desember 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-13);
c.       Bahwa KKS yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yakni Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi (kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan) dan Eksploitasi (rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya) yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
d.      Bahwa kontrak-kontrak atau perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor nyata-nyata menimbulkan pendapatan atau minimal potensi pendapatan yang sangat besar bagi negara. Sebagai contoh antara lain:
1) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Lasmo Indonesia Limited dan Unocal Muara Bakau, Ltd. tertanggal 30 Desember 2002 dengan area kontrak Muara Bakau (vide Bukti P-11);
2) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Sebana Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak Bulu (vide Bukti P-12);
3) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dengan Santos (NTH Bali I) Pty. Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North Bali I;
4) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemone Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company dan SK Corporation tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East Madura I;
5) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemtwo Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East Madura II;
6) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Provident Indonesia Energy LLC tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak Tarakan Offshore Block;
7) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately N.V. (Company No.87301) tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Palmerah (vide BUkti P-13);
8) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Pearloil (Salawati) Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak West Salawati;
9) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Elnusa Bangkanai Energy Ltd. tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Bangkanai;
10) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Halmahera Petroleum Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Halmahera;
e.       Bahwa di lain pihak, ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 secara tegas mensyaratkan bahwa segala perjanjian internasional lain (selain perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945, yakni perjanjian internasional terkait dengan pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain), sejauh perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, maka perjanjian internasional sedemikian, menurut UUD 1945, sebelum ditandatangani oleh Presiden/Pemerintah, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR-RI, bukan hanya sekadar pengiriman salinan atau copy perjanjian atau kontrak secara tertulis saja yang dikirimkan kepada DPR-RI;
f.        Bahwa filosofi dasar harus disetujuinya setiap perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa secara materiil dan secara formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
g.      Hal tersebut adalah sangat logis dan mendasar mengingat konsep dasar yang dibangun oleh UUD 1945 adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu mengedepankan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan rakyat, sehingga karenanya segala tindakan Pemerintah yang terkait atau membawa akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat luas harus mendapatkan persetujuan DPR-RI sebagai lembaga negara yang sah mewakili rakyat;
h.      Bahwa dengan tanpa disetujuinya terlebih dahulu perjanjian-perjanjian yang akan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor tersebut, maka:
1. DPR-RI menjadi tidak dapat mengetahui dan mengawasi lebih awal berapa banyak kontrak-kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah cq. BP MIGAS, dan seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi tersebut. Akibatnya, DPR-RI tidak dapat mengetahui seberapa besar hasil pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2. Faktanya, ternyata dari kontrak-kotrak yang ada, nampak jelas betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang apabila tanpa dikelola secara baik dan benar serta diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan sangat berpotensi merugikan Negara, yang berarti tidak memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
3. Ketiadaan persetujuan DPR-RI tersebut, mengakibatkan hilang dan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan kekayaan alam yang ada di bumi dan air Indonesia yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.   Di samping itu, tanpa adanya persetujuan DPR-RI, mengakibatkan hilangnya hak konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi, apakah telah dikelola, dilaksanakan dan diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
i.        Bahwa lebih jauh lagi, ukuran atau tolok ukur dari perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga harus dengan persetujuan DPR-RI sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, yaitu: - Terkait dengan beban keuangan negara; dan/atau
- Mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
1) Terkait dengan beban keuangan negara, berarti ada uang atau pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara yang dapat menjadi beban rakyat atau negara harus mengeksploitasi sumber daya alamnya untuk menutupi beban keuangan negara yang terjadi;
2) Mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang. Dalam hal ini Undang-Undang tentang APBN, dimana ada kejadian yang sedemikian rupa menimbulkan pendapatan negara yang sangat besar sehingga merubah atau setidak-tidaknya mempengaruhi sisi pendapatan APBN. Artinya, dalam hal terjadi suatu pendapatan yang sangat besar di luar yang tercantum dalam Undang-Undang tentang APBN yang telah disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, maka Undang-Undang APBN tersebut harus diubah untuk menyesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang baru tersebut, dan hal ini juga akan berakibat atau mengakibatkan perubahan APBN pada sisi pengeluaran atau belanja negara;
j.        Sesuai dengan fakta tersebut di atas, kontrak-kontrak/KKS tersebut telah menimbulkan tambahan pendapatan negara yang luar biasa besar dan signifikan sehingga mempengaruhi atau menyebabkan perubahan Undang-Undang APBN pada sisi pendapatan, dan juga secara langsung merubah komposisi APBN pada sisi belanja negara. Dengan demikian, perjanjian-perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor tersebut, secara konstitusional harus mendapatkan persetujuan DPR-RI yang dalam hal ini diwakili oleh para Anggota DPR-RI.
k.      Bahwa lebih jauh lagi, kekayaan negara yang sangat besar dari sektor minyak dan gas bumi yang dikelola oleh BP MIGAS tersebut, menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat besar jika tidak dikelola secara benar, efisien dan efektif.
l.        Namun demikian, faktanya tidak ada satupun lembaga negara atau intitusi yang dapat melakukan tindakan pre-emptive atau preventive (pencegahan) untuk menghindari kerugian keuangan negara akibat salah kelola atau pengelolaan yang tidak efisien oleh Pemerintah cq. BP MIGAS atas keuangan negara yang sangat besar tersebut sebagai suatu bentuk pengawasan atas pengelolaan kekayaan negara. Bahkan pengawasan secara dinamis pasca penandatanganan kontrak dan implementasinya di lapangan, faktanya juga sangat sulit untuk dilakukan karena prosedur permintaan data/keterangan maupun pengiriman salinan atau fotokopi kontrak yang relatif lambat dan berbelit-belit. Sehingga terkesan kuat bahwa BP MIGAS telah menjadi suatu lembaga super body yang tidak dapat dikontrol/diawasi oleh pihak manapun juga. Hal tersebut tercermin dari kewenangan atau tugas dari BP MIGAS yang begitu besar, yaitu antara lain:
- Penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS oleh BP MIGAS;
- Penandatanganan KKS;
- Persetujuan atas rencana kerja dan anggaran;
- Monitoring pelaksanaan KKS;
- Penunjukan penjual minyak bumi dan/atau gas alam bagian negara;
- Pelaksanaan tender-tender untuk proses eksplorasi dan eksploitasi oleh Kontraktor;
- Persetujuan besaran dan pembayaran Cost Recovery kepada Kontraktor.
m.    Bahwa terkait dengan kekhawatiran banyak kalangan atas dampak dari keharusan adanya persetujuan DPR-RI terlebih dahulu atas setiap kontrak/KKS yang akan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan Kontraktor, dalam hubungannya dengan iklim atau tingkat investasi di Indonesia, maka hal tersebut hanyalah kekhawatiran yang berlebihan mengingat hal yang menjadi perhatian utama para investor yang akan menanamkan modal di Indonesia adalah masalah kepastian hukum dan jaminan keamanan berinvestasi. Persetujuan DPR-RI atas penandatanganan kontrak-kontrak/KKS antara Pemerintah cq. BP MIGAS dengan Kontraktor jangan dilihat sebagai perpanjangan rantai birokrasi sehingga mengakibatkan inefisiensi berinvestasi, melainkan justru lebih memperkuat kedudukan hukum dan kepastian hukum dari kontrak/KKS. Karena dalam praktik di negara manapun juga, justru menunjukkan bahwa kepentingan negara dan rakyat dalam pengelolaan kekayaan negara adalah hal pokok yang harus selalu diutamakan dan dikedepankan.
Dengan demikian sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang hanya mewajibkan Pemerintah cq. BP MIGAS untuk memberitahukan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.

4.      PUTUSAN NOMOR 53/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGUJIAN UU NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK.
-Kapasitas Pemohon.
Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V adalah perseorangan berkewarganegaraan dan rakyat Indonesia yang memiliki kedaulatan di dalam berbangsa dan bernegara.
- Apakah MK menyatakan pemohon memiliki legal standing? Apa alasan MK?
Ø  Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon I sampai dengan Pemohon
V mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia, sedangkan Pemohon
VI adalah badan hukum privat, yang mempunyai hak konstitusional yang diatur
dalam UUD 1945. Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya
ketentuan pasal, ayat, dan bagian pasal atau ayat dari Undang-Undang a quo, yang
dimohonkan oleh para Pemohon untuk diuji. Para Pemohon merasa hak-hak
konstitusionalnya terhalang karena tidak dapat mengajukan permohonan pembubaran
partai politik. Setelah mencermati bukti yang diajukan para Pemohon mengenai
kedudukan hukum masing-masing Pemohon, Mahkamah menemukan fakta sebagai
berikut:
Pemohon I sampai dengan Pemohon V adalah perorangan warga negara Indonesia
yang memiliki kepedulian dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui pernyataan
pendapat dan kritik terhadap pemerintahan;
Pemohon VI mendalilkan sebagai badan hukum privat yang merupakan organisasi
masyarakat berdasarkan Anggaran Dasarnya bertujuan mendorong pembaharuan
50
sistem dan penegakan hukum, memberikan pembelaan terhadap masyarakat,
menumbuhkan kesadaran hukum terkait dengan penghormatan terhadap hak
asasi manusia, meningkatkan kapasitas untuk memperjuangkan hak-haknya
sebagai warga negara dan meningkatkan kerja sama dalam mendorong
pembaharuan sistem hukum, dan penegakan hukum secara demokratis demi
mewujudkan demokrasi konstitusional yang dibuktikan dengan keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C-58.HT.01.03.TH.2006, yang telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 19 Januari 2007,
Nomor 6/2007, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 3/Perk/2007;
Ø  Menimbang bahwa dengan memperhatikan potensi akibat yang dialami
oleh para Pemohon terkait dengan mekanisme pembekuan dan pembubaran
partai politik, dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut
Mahkamah, terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi
kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
memiliki kepentingan sama untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-
Undang a quo;

- Apakah ketentuan UU yang diajukan oleh Pemohon? Bertentangan dengan ketentuan mana dalam UUD 1945?
Ketentuan Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6) UU Parpol bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 68 ayat (1) UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28H ayat (3), Pasal 28C ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

- Apa argumentasi Pemohon bahwa ketentuan UU yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945?
Ø  Korupsi di Partai Politik dan Partai Politik yang Tidak Pro Rakyat Bertentangan dengan Tujuan Negara.
Ø  Kekuasaan Partai Politik dalam UUD 1945 Sangat Besar dan Menentukan Masa Depan Kehidupan Berbangsa.
Ø  Pembubaran Partai Politik oleh Rakyat Melalui Mahkamah Konstitusi Merupakan Due Process of Law.

Ø  Partai Politik Tidak Dapat di Bubarkan oleh Rakyat bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar