KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulisan makalah yang berjudul: “Sengketa
Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat” dapat
terselesaikan.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, masih terdapat
banyak kekurangan baik materi maupun teknis penulisannya, untuk itu saya sebagai penyusun makalah ini
berlapang dada untuk menerima saran dan kritik guna menyempurnakan makalah ini.
Dengan mengharapkan ridho
ALLAH SWT, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua paling tidak
sebagai salah satu upaya dalam rangka memantau dinamika perdagangan bebas WTO.
Malang, 23 Mei 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan pengekspor
rokok kretek terbesar di dunia dimana 6,1 juta[1] penduduknya menggantungkan
hidup pada industri rokok kretek tersebut. Selain itu, Dari negeri-negeri penghasil
cengkeh, Indonesia merupakan negeri penghasil cengkeh terbesar di dunia. Dari
data FAO, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai penghasil cengkeh,
bahkan dengan persentase dua pertiga cengkeh di dunia, dengan jumlahnya
mencapai 79 ribu ton atau 73 persen (tahun 2002) dan 84 ribu ton atau 75 persen
(tahun 2007). Selain Indonesia, negeri penghasil cengkeh lainnya adalah
Madagaskar yang memproduksi sebanyak 10 ribu ton (9 persen), Tanzania sebanyak
9,9 ribu ton (8,9 persen) dan Sri Lanka sebanyak 3 ribu ton (2,8 persen) pada
2007, sebagaimana yang dapat dilihat
dalam tabel 1.
Tabel. 1 Negeri Penghasil
Cengkeh 2002 dan 2007
Namun, Pada tahun 2010 Amerika Serikat (AS) memboikot ekspor rokok
kretek Indonesia ke negara Paman Sam ini. Pemerintahan AS kala itu mengatakan
bahwa rokok Indonesia telah merusak generasi muda AS. Tidak terima dengan
tindakan AS, Indonesia mengajukan
pembentukan Panel ke badan penyelesaian sengketa WTO (Dispute Settlement Body) atas dasar AS melanggar ketentuan WTO mengenai national treatment obligation.
Indonesia merasa keberatan dengan sikap AS yang mencerminkan diskriminasi di
dunia perdagangan karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip WTO.[2] Rokok kretek beraroma
milik Indonesia dilarang memasuki pasar AS akibat diberlakukannya The Family Smoking Prevention
and Tobacco Control Act[3]
untuk mencegah generasi muda dibawah 18 tahun mengonsumsi dan terjangkit
adiksi rokok. Tercatat dalam hukum ini yang terdapat dalam Section 907 Tobacco Product
Standarts[4] mengenai pelarangan peredaran
rokok dengan rasa tertentu, yang berbunyi:
“Rokok atau bagian komponennya (termasuk tembakau, filter, atau kertas) tidak
boleh mengandung, sebagai konstituen (termasuk konstituen asap) atau aditif,
rasa buatan atau alami (selain tembakau atau mentol) atau herbal atau rempah-rempah,
termasuk strawberry, anggur, jeruk, cengkeh, kayu manis, nanas, vanili, kelapa,
licorice, coklat, coklat, cherry, atau kopi, yang merupakan karakteristik rasa
dari produk tembakau atau asap tembakau.”
Larangan ini justru akhirnya memihak Indonesia karena
menggambarkan keputusan inkonsistensi dari pihak oposisi, rokok dengan rasa
serupa milik Amerika tetap dapat beredar bebas sementara impor produk dari
Indonesia dihambat. Tujuan Indonesia mengajukan kasus rokok kretek ke WTO bukan
untuk meningkatkan ekspor produk rokok ke AS, melainkan untuk mengamankan akses
pasar rokok kretek Indonesia di AS. Indonesia khawatir apabila jejak AS
dalam menghentikan impor rokok kretek beraroma produksinya akan diikuti oleh
negara-negara lain.[5]
Bentukan Panel yang diajukan
Indonesia ternyata menarik minat dari beberapa
negara untuk menjadi pihak ketiga guna memberikan padangannya mengenai kasus
ini, di
antaranya adalah Uni Eropa, Guatemala, Brazil, Kolombia, Republik Dominika,
Meksiko, Turki dan Norwegia. Keterlibatan kedelapan negara
tersebut sebagai pihak ketiga diindikasi karena mereka juga memiliki rokok
beraroma sebagai komoditi ekspor.[6]
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Kasus Posisi Permasalahan Sengketa Larangan Perdagangan
Rokok Kretek di Amerika Serikat?
2.
Bagaimana
Penyelesaian Sengketa Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika
Serikat?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui bagaimana kasus posisi Permasalahan Sengketa
Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana Penyelesaian Sengketa Larangan Perdagangan Rokok
Kretek di Amerika Serikat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kasus Posisi RI Sengketakan Larangan Perdagangan
Rokok Kretek di Amerika Serikat Ke DSB – WTO[7]
Pemerintah
Republik Indonesia secara resmi mengajukan permintaan pembentukan Panel yang
disampaikan dalam Sidang Badan Penyelesaian Sengketa/Dispute Settlement Body
(DSB) WTO, pada tanggal 22 Juni 2010 di Jenewa. Permintaan pembentukan Panel
ini dilakukan sebagai tindak lanjut upaya penyelesaian sengketa dagang WTO
setelah konsultasi formal pada pertengahan Mei lalu gagal menyelesaikan
masalah.
Sengketa
bersumber dari terbitnya undang-undang di Amerika Serikat untuk mencegah atau
mengurangi perokok anak muda sebagaimana tertuang di dalam “Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act” yang di Undangundangkan pada bulan Juni
2009 dan berlaku September 2009. Peraturan tersebut telah melanggar ketentuan
WTO yaitu secara diskriminatif mengecualikan rokok menthol dari larangan
penjualan rokok beraroma, termasuk rokok kretek di Amerika Serikat. Sekitar 99%
rokok kretek yang dijual di pasar AS diimpor dari Indonesia. Dengan demikian
secara implisit AS juga melakukan larangan impor terhadap rokok kretek.
Dirjen
Kerjasama Perdagangan Internasional, Gusmardi Bustami menyatakan “bahwa
tindakan Pemerintah RI membawa AS ke DSB WTO merupakan langkah terakhir setelah
berbagai upaya dilakukan sejak mulai masih dalam bentuk Rancangan UU dan
dibahas di Konggres sampai diundangkan. Indonesia telah menyampaikan
kepentingannya dalam berbagai forum bilateral ditingkat senior official sampai
di tingkat Menteri baik formal maupun informal selama lebih dari 4 (empat)
tahun, namun tidak membuahkan hasil. Sebagai Anggota WTO, AS seharusnya
melaksanakan kewajiban internasionalnya sebagaimana terdapat dalam Agreement on
Technical Barriers to Trade dan GATT 1994, untuk tidak melakukan diskriminasi
perdagangan”
Dalam
sidang DSB WTO tanggal 22 Juni 2010 di Jenewa, Delegasi RI menyampaikan kepada
Sidang alasan dan dasar hukum ketentuan WTO mengenai permintaan pembentukan
Panel kepada DSB. Indonesia meminta agar Panel memeriksa pelanggaran yang
dilakukan oleh AS terhadap ketentuan Pasal III GATT (General Agreement on
Tariff and Trade) 1994, penggunaan Article XX GATT 1994 tanpa disertai bukti
ilmiah serta tidak terpenuhinya persyaratan yang diatur oleh sejumlah pasal
dalam Technical Barriers to Trade/TBT dan Sanitary and Phythosanitary/SPS.
Dalam sidang DSB kemarin, Delegasi AS menyampaikan kekecewaannya atas tindakan
Indonesia untuk membawa AS ke DSB dan merupakan suatu hal yang premature. AS
meminta Indonesia untuk mempertimbangkan kembali permintaan pembentukan Panel
tersebut. Penolakan AS tersebut merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi dalam
Sidang DSB. karena AS sebagai pihak yang dipersengketakan mempunyai hak untuk
memblokirnya pada kesempatan pertama sesuai dengan ketentuan WTO Dispute
Settlement Understanding (DSU). Namun pada sidang berikutnya AS tidak mempunyai
hak lagi untuk menolak.
Pengajuan
permintaan pembentukan panel adalah langkah tindak lanjut dalam proses
penyelesaian sengketa dagang WTO. Hal ini dilakukan Indonesia setelah
permintaan untuk konsultasi RI-AS pada tanggal 7 Maret 2010 dalam upaya mencari
solusi atas undang-undang yang dikeluarkan AS. Pada tanggal 13 Mei 2010, RI-AS
telah melakukan konsultasi formal dalam kerangka DSB WTO dan tidak dicapai
kesepakatan. Selanjutnya, Indonesia secara formal telah meminta Dispute
Settlement Body (DSB) WTO untuk membentuk Panel pada Sidang DSB yang
diselenggarakan pada tanggal 22 Juni 2010 di Jenewa.
Section
907 dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act,(Public Law 111-31,
"The Act") telah disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh Presiden
Obama tanggal 22 Juni 2009. UU ini melarang penjualan semua rokok yang
mengandung aroma dan rasa (Flavored cigarettes) termasuk rokok kretek di
Amerika Serikat selain menthol dan berlaku efektif pada 22 September 2009.
Rokok
kretek dan rokok menthol adalah "Like products" sesuai Pasal 2.1
Agreement onTechnical Barriers to Trade (TBT Agreement). Sebesar 99% rokok
kretek yang dijual di Amerika Serikat adalah produk impor (terutama dari
Indonesia). Sebaliknya, hampir seluruh rokok menthol yang dijual adalah hasil
produksi domestik Amerika Serikat. Oleh karena itu larangan atas impor rokok
kretek tersebut merupakan bentuk perlakuan yang diskriminasi dan less favorable
dibandingkan produk rokok menthol.
Tujuan
utama dari the Act tersebut adalah untuk mengatasi masalah kesehatan terkait
dengan rokok yaitu dengan mengurangi konsumsi rokok pada anak muda. Namun
demikian, data menunjukkan bahwa 43 persen anak muda AS mengkonsumsi rokok
menthol dan sekitar 1/4 dari keseluruhan rokok yang dikonsumsi di AS.
Sebaliknya, konsumsi rokok kretek hanya mencapai kurang dari satu persen dari
keseluruhan konsumsi rokok di AS (0,09%) dan konsumsi rokok pada anak muda
(0,05%). Mengingat bahwa larangan pada rokok beraroma tersebut tidak berlaku
pada rokok menthol yang sebenarnya justru lebih besar tingkat konsumsinya, maka
larangan terhadap rokok kretek yang tingkat konsumsinya relatif sangat rendah
baik oleh anak muda maupun secara keseluruhan – akan sangat tidak efektif untuk
mencapai tujuan UU AS tersebut. Larangan yang diberlakukan terhadap rokok
kretek merupakan pelanggaran terhadap Article 2.2 dari Persetujuan TBT WTO (TBT
Agreement) dimana lebih mengarah pada bentuk restriksi perdagangan untuk
mencapai tujuan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam tujuan utama
undang-undang AS tersebut.
"Ini
merupakan masalah prinsip, karena telah terjadi diskriminasi dimana
pengecualian terhadap menthol yg juga adalah rokok beraroma (flavoroured) di
dalam UU sementara kretek yang beraroma cengkeh dilarang. Oleh karena itu, demi
kepentingan nasional, Indonesia membawa masalah ini ke DSB WTO," tegas
Gusmardi.
Realisasi
ekspor Indonesia ke AS untuk cigarettes tobacco HS2402209010 (kretek masuk
dalam kategori ini) mengalami penurunan dari US$ 604,42 ribu pada tahun 2007
turun menjadi US$ 83,62 ribu tahun 2009 (the Act berlaku september 2009), dan
tidak ada ekspor sama sekali pada tahun 2010. Adapun volume turun dari 30.196
kg pada tahun 2007 hingga 9.984 kg pada tahun 2009.
Nilai
total ekspor produk rokok indonesia ke AS cenderung fluktuatif dalam periode
2005-2009. Pada tahun 2005 mencapai US$ 7,28 juta, US$ 6,65 juta (2006), US$
11,17 juta (2007), US$ 9,70 juta (2008) dan US$ 8,34 juta (2009). Nilai total
ekpor periode Januari-Maret 2010 sebesar US$ 2,53 juta, nilai ini meningkat
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 2,32 juta.
2.2 Penyelesaian Sengketa Larangan
Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat.
Pada tanggal 4 April 2012, Sidang Dispute Settlement Body (DSB) telah mengadopsi laporan Appelate Body WTO dalam kasus rokok kretek
(DS 406 - United States – Measures Affecting the
Production and Sale of Clove Cigarettes). Laporan tersebut menyatakan bahwa
Amerika Serikat dengan regulasi yang baru dalam "Federal Food, Drug,
and Cosmetic Act", menerapkan aturan teknis dalam "Family
Smoking Prevention and Tobacco Control Act" melarang produksi dan
penjualan rokok dengan ciri aroma seperti kretek, strawbery, anggur, jeruk,
kopi, vanila dan coklat. Namun anehnya rokok aroma menthol dimana rokok
tersebut adalah produksi dalam negeri Amerika Serikat tidak masuk dalam
regulasi baru tersebut.[8]
Appellate
Body menyatakan bahwa AS melakukan
pelanggaran ketentuan Perjanjian WTO yaitu the Technical Barrier to Trade
Agreement (TBT). AS dinyatakan melanggar
ketentuan Pasal 2.1 TBT mengenai less favourable treatment atau diskriminasi dagang, dan
Pasal 2.12. TBT mengenai reasonable interval terhadap waktu sosialisasi dan
penetapan kebijakan. Hal tersebut berdasar publikasi dalam laman resmi WTO
tanggal 4 April 2012, Badan Banding WTO menerbitkan laporan tentang peraturan
teknis AS yang mempengaruhi produksi dan penjualan rokok kretek Indonesia.
Sehingga Indoenesia mengalami kerugian yang cukup besar untuk ekspor rokok.
Dalam
laporan tersebut, Panel WTO menilai regulasi Amerika Serikat dianggap
inkonsisten terhadap pasal di perjanjian TBT karena Amerika Serikat melakukan
pelarangan impor rokok kretek Indonesia tapi tidak melarang produksi dan
penjualan rokok menthol sebagai produk yang serupa. Sehingga dapat dinilai jika
Amerika Serikat telah melanggar prinsip WTO dalam hal national treatment. National treatment adalah
larangan untuk memberi perlakuan berbeda terhadap barang dagang asing (dari
luar negeri) dan barang domestik. Ketika barang dagangan asing telah melewati
batas negara (diimpor) dan telah melalui daerah pabean dengan membayar bea
masuk (jika ada), maka kewajiban negara penerima adalah memperlakukan barang
domestik dan barang asing dengan perlakuan yang sama.[9]
Ada pula prinsip dalam GATT (salah satu badan di
bawah WTO mengenai perdagangan barang), ada larangan untuk negara
melakukan restriksi (pembatasan) kuantitatif, seperti kuota, dan jenis-jenis
pembatasan yang serupa.[10]
Selain
hal tersebut, panel juga menilai pemberian interval kurang dari enam bulan
antara publikasi dan pemberlakuan regulasi teknis tidak konsisten dengan pasal
dalam perjanjian TBT. Penilaian Badan Banding yang mendeterminasi "produk
serupa" antara rokok kretek dengan rokok menthol mengacu pada hubungan
kompetitif produk sebagaimana dimaksud pasal 2.1 perjanjian TBT berdasar analisis
tradisional keserupaan. Kriteria tradisional keserupaan sendiri meliputi
karakteristik fisik, penggunaan akhir, selera dan kebiasaan konsumen dan
klasifikasi tarif.
Berdasarkan alasan ini maka WTO
memenangkan Indonesia dalam kasus ekspor rokok kretek. Banding yang diajukan AS
juga memenangkan Indonesia. Sehingga, kebijakan AS menyangkut rokok kretek
Indonesia pun harus segera dicabut.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Suryadi Radjab, Dampak
Pengendalian Tembakau Terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta,
Serikat
Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS), 2013.
SKRIPSI/TESIS/DISERTASI:
Asmin Nasution, Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya Dengan Domestic Regulations WTO, Tesis Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Tidak Diterbitkan, Medan, 2008.
INTERNET:
FDA, Section
907 of the Federal Food, Drug, and Cosmetic Act - Tobacco Product Standards, http://www.fda.gov/TobaccoProducts/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/ucm263053.htm,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2015.
Anonim, Kemenangan
di WTO Posisikan Rokok Indonesia,
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1018&detail=true,
diakses pada tanggal 23 Mei 2015.
Suryadi Radjab, Dampak
Pengendalian Tembakau Terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta,
Serikat
Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS), 2013.
Dikutip
dari Siaran Pers Humas Kementerian Perdangan Republik Indonesia, Jakarta 25
Juni 2010.
Anonim, Kemenangan
di WTO Posisikan Rokok Indonesia,
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1018&detail=true,
diakses pada tanggal 23 Mei 2015.
[1] Adityo Guni Waluyo, Nasib Buruh Outsourcing di Tengah Pesatnya Bisnis Rokok, http://www.indopos.co.id/2012/11/nasib-buruh-outsourcing-di-tengah-pesatnya-bisnis-rokok.html,
diakses pada tanggal 23 Mei 2015.
[2] Prinsip WTO
dalam hal ini adalah National Treatmen
(perlakuan nasional) yang berarti bahwa negara anggota wajib untuk memberikan
perlakuan yang sama atas barang-barang impor dan barang lokal.
[4] FDA, Section
907 of the Federal Food, Drug, and Cosmetic Act - Tobacco Product Standards,
http://www.fda.gov/TobaccoProducts/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/ucm263053.htm,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2015
[5] Anonim, Kemenangan di WTO Posisikan Rokok Indonesia, http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1018&detail=true,
diakses pada tanggal 23 Mei 2015.
[6] Suryadi Radjab, Dampak Pengendalian Tembakau Terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Jakarta, Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dan Center For
Law and Order Studies (CLOS), 2013,
hlm. 9.
[7]
Dikutip dari Siaran Pers Humas Kementerian Perdangan Republik Indonesia,
Jakarta 25 Juni 2010
[8] Anonim, Kemenangan di WTO Posisikan Rokok Indonesia, http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1018&detail=true,
diakses pada tanggal 23 Mei 2015.
[9] Asmin
Nasution, Penerapan
Prinsip Transparansi Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Kaitannya Dengan Domestic Regulations WTO, Tesis Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Tidak Diterbitkan, Medan, 2008, Hlm. 48.
[10] Ibid, hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar