Rabu, 22 Juni 2016

PENEMUAN HUKUM METODE INTERPRETASI Dibuat untuk menyelesaikan tugas terstruktur 2 mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang dibina oleh Bapak Nurdin, SH. M.Hum

BAB I
PENDAHULUAN

          Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
          Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian metode interpretasi dalam penemuan hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penjelasan oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa kongkret. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[1]
B.     Macam-macam metode interpretasi dalam penemuan hukum
1)      Metode Gramatikal (Penafsiran tata bahasa)
Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai oleh undang-undang. Semata-mata arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan penafsiran menurut bahasa ini adalah penjelasan itu harus bersifat logis, oleh karenanya metode ini juga disebut metode objektif.
Contoh kasus : suatu peraturan perundangan, melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “kendaraan” itu. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kendaraan yang dimaksud hanyalah kendaraan bermotor ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.[2]
2)      Metode Historis
Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini juga dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi, penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Ada dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari pemikiran interpretasi ini ialah bahwa undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang yang menentukan. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi obektif karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subyektif pembentuk undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut bahasa disebut metode obyektif,interpretasi meenurut sejarah undang-undang ini mengambil sumbernya dari surat menyurat dan pembicaraan di DPR,yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
Interpretasi menurut sejarah hukum. Misalnya, jika kita hendak menjelaskan ketentuan dalam BW dengan meneliti sejarahnya yang tidak terbatas sampai pada terbentuknya BW saja, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum romawi, kita menafsirkannya dengan interpretasi menurut sejarah hukum. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia. Undang-undang kecelakaan hanya dapat dimengerti dengan adanya gambaran sejarah mengenai revolusi industri dan gerakan emansipasi buruh.[3]
3)      Metode Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian international ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif atau kaedah hukum untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.[4]
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.[5]
4)      Metode Sosiologis / Teologis
Metode Interpretasi ini di gunakan apabila pemaknaan suatu aturan hukum di tafsirkan berdasarakan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin di capai dalam masyarakat. Itu sebabnya maka  Interpretasi Teologis juga sering di sebut Interpretasi  Sosiologis.
Dalam Interpretasi Sosiologis atau Teologis ini, suatu peraturan perundang-undangan di sesuaikan dengan situasi social yang baru. Sebagai contoh, banyak aturan hukum yang di buat pada masa pemerintahan colonial Belanda, yang masih berlaku karena belum ada peraturan penggantinya, meskipun peraturan perundangan tersebut sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tetapi peratran perundang-undangan tersebut masih tetap dapat di berlakukan dengan di aktualisasikan atau di sesuaikan seduamikian rupa dengan hubungan dan situasi sosial yang baru pada peristiwa hubungan hukum, kebutuhan dan kepentingan justitiabelen, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masa kini.
Jadi Interpretasi Teologis/Sosiologis adalah suatu Interpretasi untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat di terapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Interpretasi Teologis/Sosiologis menjadi sangat penting apabila hakim menjalankan suatu undang-undang, di mana keadaan masayarakat ketika undang-undang itu di tetapkan berbeda sekali dengan keadaan pada waktu undang-undang itu di jalankan.
Salah satu contoh dari Interpretasi Teologis/Sosiologis ini adalah Pasal 362 KUHP yang berbunyi “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk di milikinya secara melawan hukum, di ancam karena pencurian dengan pidana paling lama 5 tahun”.
Pada saat pasal ini di buat para pembuat undang-undang belum berpikir akan muculnya penggunaan listrik dalam kehidupan manusia, Dengan demikian, ketika terjadi penyadapan dan penggunaan tenaga listrik, timbul persoaalan, apakah listrik termasuk “barang” seperti yang di maksud oleh Pasal 362 KUHP? Kalau termasuk, berarti penyadapannya termasuk dalam kualifikasi sebagai pencuri yaitu pencuri aliran listrik. Ternyata arres Hoge Raad dalam putusannya tanggal 23 Mei 1921 menyatakan bahwa listrik bersifat mandiri dan memiliki nilai ekonomis dan bahwa pasal 362 KUHP bertujuan untuk melindungi harta kekayaan orang lain.[6]
5)      Metode Sistematis
Interpretasi sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain.
Contoh penggunaan interpretasi sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUH Pidana.[7]
Metode sistematis, adalah metode yang mempelajari hukum dengan cara melihat hukum sebagai suatu sistem ygn terdiri atas berbagai sub-sistem seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara. Ilmu pengetahuan hukum yang melihat hukum dengan cara demilkian ini dinamakan systematiche rechtswetenschap.[8]
6)      Metode Ekstensif
Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata kata dalam peraturan perundang-undangan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya. sebuah perkataan diberi makna lebih luas ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
 Contoh: Aliran listrik di tafsirkan sebagai benda.[9]
7)      Metode Restriktif
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo mengartikan tafsir restriktif sebagai cara tafsir dengan cara pembatasan penafsiran sesuai dengan kata yang mana kata tersebut sudah mempunyai makna tertentu. Apabila suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus dicukupkan (iktifa’) dengan makna yang jelas tersebut. Interpretasi restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai atau lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.[10]
Penafsiran undang-undang secara restriktif adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang. Sebagai contoh dapat diungkapkan Pasal 666 KUH Perdata berbunyi setiap tetangga termasuk penyewa dari pekarangan sebelahnya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti kita telah melakukan interpretasi restriktif. Lain halnya penafsiran undang-undang secara ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Contohnya, perkataan “menjual” dalam Pasal 1576 KUH Perdata ditafsirkan luas yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli saja, melainkan juga berarti “peralihan hak”.

Pada dasarnya merupakan lawan atau kebalikan dari penafsiran ekstensif. Penafsiran restriktif bersifat membatasi atau memperkecil pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut, ruang lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu luas sehingga kejelasan, ketegasan, dan kepastian hukum yang terkandung didalamnya akan lebih mudah diraih. Akibatnya, dalam penerapan dan pelaksanaannya, ketentuan hukum tersebut akan lebih mengena terhadap sasarannya karena memang maknanya sendiri telah dibatasi dan diarahkan secara khusus kepada masalah yang menjadi sasaran pengaturannya.
Contoh: Kerugian tidak termasuk kerugian yang tak berwujud seperti sakit, cacat dan sebagainya.[11]
8)      Metode Futuristis
Interpretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum. Tafsir hukum dilakukan dengan cara merujuk pada suatu RUU / ius constituendum yang sudah mendapat persetujuan bersama, namun belum disahkan secara formil, atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum tersebut sehingga pada waktu disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif (ius constitutum). Contoh kasus : pada saat UU tentang pemberantasan tindak subversi yang pada saat itu di bahas di DPR akan mencabut berlakunya UU tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasar UU pemberantasan tindak pidana subversi.[12]



DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusumo, S.H, Prof. 2010. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
C.S.T. Kansil, S.H, Prof. 1989. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka.
Regafelix. 2011. Metode Penemuan Hukum. http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/. Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Hamid Rusdi. 2012. Metode Interpretasi dan Kepastian Hukum Dalam Tipikor. http://tipikor99.wordpress.com/2008/11/26/metode-interpretasi-dan-kepastian-hukum-dalam-tipikor/. Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Ahmad Rifai, S.H, Prof. 2010. Penemuan Hukum oleh hakim dalam persfektif hukum progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Regafelix. 2011. Metode Penemuan Hukum. http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/ Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Ummu Bari’ah. Metode Penemuan Hukum. http://yamaguchifans.blogspot.com/2012/11/tugas-pih.html Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: prenhallindo.
Anonim. 2011. interpretasi-restriktif-dan-ekstensif. http://logikahukum.wordpress.com/tag/interpretasi-restriktif-dan-ekstensif/. Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Anonim. 2011. Sosiologi Hukum. http://sosiologihuku.blogspot.com/2009/07/sosiologi-hukum.html. Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Anonim. 2009. Metode Interpretasi Futuristis. http://logikahukum.wordpress.com. Diakses tanggal 4 Desember 2013.



[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2010),hlm.218
[2] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:Balai Pustaka, 1989), hlm.66-67
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum (Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2010)hlm.223-224
[4] Regafelix, “metode-penemuan-hukum”, http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/ (Akses 4 Desember 2013)
[5] Hamid Rusdi, “Metode Interpretasi dan Kepastian Hukum Dalam Tipikor”, http://tipikor99.wordpress.com/2008/11/26/metode-interpretasi-dan-kepastian-hukum-dalam-tipikor/ (Akses 4 Desember 2013)
[6] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh hakim dalam persfektif hukum progresif (Jakarta:Sinar Grafika,2010)hlm.68
[7] Regafelix,”Metode Penemuan Hukum”, http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/ (Akses 4 Desember 2013)
[8] Ummu Bari’ah, “Metode Penemuan Hukum”, http://yamaguchifans.blogspot.com/2012/11/tugas-pih.html (Akses 4 Desember 2013)
[9] J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: prenhallindo,2001)hlm.115
[10] “interpretasi-restriktif-dan-ekstensif”, http://logikahukum.wordpress.com/tag/interpretasi-restriktif-dan-ekstensif/ (Akses 4 Desember 2013)
[11] “Sosiologi Hukum”, http://sosiologihuku.blogspot.com/2009/07/sosiologi-hukum.html, (Akses 4 Desember 2013)
[12] “Metode Interpretasi Futuristis”, http://logikahukum.wordpress.com (Akses 4 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar