BAB I
PENDAHULUAN
Hukum mempunyai fungsi untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa
terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan
manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini
menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal
terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat
justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum
harus adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat
diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang
harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga
menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha
menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya
peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan
perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian metode interpretasi dalam penemuan hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan
salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai
teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu. Penjelasan oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa kongkret. Metode interpretasi ini adalah
sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[1]
B. Macam-macam metode interpretasi dalam penemuan hukum
1) Metode
Gramatikal (Penafsiran tata bahasa)
Cara
penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman
pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat
yang dipakai oleh undang-undang. Semata-mata arti perkataan menurut tatabahasa
atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Syarat yang
harus dipenuhi dalam melakukan penafsiran menurut bahasa ini adalah penjelasan
itu harus bersifat logis, oleh karenanya metode ini juga disebut metode
objektif.
Contoh
kasus : suatu peraturan perundangan, melarang orang memarkir kendaraannya pada
suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan istilah “kendaraan” itu. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah
kendaraan yang dimaksud hanyalah kendaraan bermotor ataukah termasuk juga
sepeda dan bendi.[2]
2) Metode
Historis
Makna
undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya. Penafsiran ini juga dikenal sebagai interpretasi historis.
Jadi, penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya
undang-undang.
Ada
dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang
dan penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan
penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan
undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukannya. Pikiran yang mendasari pemikiran interpretasi ini ialah bahwa
undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang yang menentukan.
Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi
obektif karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subyektif pembentuk
undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut bahasa disebut metode
obyektif,interpretasi meenurut sejarah undang-undang ini mengambil sumbernya
dari surat menyurat dan pembicaraan di DPR,yang kesemuanya itu memberi gambaran
tentang apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
Interpretasi
menurut sejarah hukum. Misalnya, jika kita hendak menjelaskan ketentuan dalam
BW dengan meneliti sejarahnya yang tidak terbatas sampai pada terbentuknya BW
saja, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum romawi, kita
menafsirkannya dengan interpretasi menurut sejarah hukum. Undang-undang nomor 1
tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi
wanita Indonesia. Undang-undang kecelakaan hanya dapat dimengerti dengan adanya
gambaran sejarah mengenai revolusi industri dan gerakan emansipasi buruh.[3]
3) Metode
Komparatif
Interpretasi komparatif
atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan
perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai
suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian
international ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir
kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif
atau kaedah hukum untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian internasional
kegunaan metode ini terbatas.[4]
Interpretasi
komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan
perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan
memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi
internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan
mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo,
metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian
internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir
kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif
atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian
internasional, kegunaan metode ini terbatas.[5]
4) Metode
Sosiologis / Teologis
Metode
Interpretasi ini di gunakan apabila pemaknaan suatu aturan hukum di tafsirkan
berdasarakan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin di capai
dalam masyarakat. Itu sebabnya maka
Interpretasi Teologis juga sering di sebut Interpretasi Sosiologis.
Dalam
Interpretasi Sosiologis atau Teologis ini, suatu peraturan perundang-undangan
di sesuaikan dengan situasi social yang baru. Sebagai contoh, banyak aturan
hukum yang di buat pada masa pemerintahan colonial Belanda, yang masih berlaku
karena belum ada peraturan penggantinya, meskipun peraturan perundangan
tersebut sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tetapi
peratran perundang-undangan tersebut masih tetap dapat di berlakukan dengan di
aktualisasikan atau di sesuaikan seduamikian rupa dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru pada peristiwa hubungan hukum, kebutuhan dan kepentingan
justitiabelen, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masa kini.
Jadi
Interpretasi Teologis/Sosiologis adalah suatu Interpretasi untuk memahami suatu
peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat di terapkan sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Interpretasi Teologis/Sosiologis
menjadi sangat penting apabila hakim menjalankan suatu undang-undang, di mana
keadaan masayarakat ketika undang-undang itu di tetapkan berbeda sekali dengan
keadaan pada waktu undang-undang itu di jalankan.
Salah
satu contoh dari Interpretasi Teologis/Sosiologis ini adalah Pasal 362 KUHP
yang berbunyi “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk di milikinya secara melawan
hukum, di ancam karena pencurian dengan pidana paling lama 5 tahun”.
Pada
saat pasal ini di buat para pembuat undang-undang belum berpikir akan muculnya
penggunaan listrik dalam kehidupan manusia, Dengan demikian, ketika terjadi
penyadapan dan penggunaan tenaga listrik, timbul persoaalan, apakah listrik
termasuk “barang” seperti yang di maksud oleh Pasal 362 KUHP? Kalau termasuk,
berarti penyadapannya termasuk dalam kualifikasi sebagai pencuri yaitu pencuri
aliran listrik. Ternyata arres Hoge Raad dalam putusannya tanggal 23 Mei 1921
menyatakan bahwa listrik bersifat mandiri dan memiliki nilai ekonomis dan bahwa
pasal 362 KUHP bertujuan untuk melindungi harta kekayaan orang lain.[6]
5) Metode
Sistematis
Interpretasi
sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain.
Contoh
penggunaan interpretasi sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat
pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak
cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan
juga dengan pasal 278 KUH Pidana.[7]
Metode
sistematis, adalah metode yang mempelajari hukum dengan cara melihat hukum
sebagai suatu sistem ygn terdiri atas berbagai sub-sistem seperti hukum
perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara. Ilmu pengetahuan hukum
yang melihat hukum dengan cara demilkian ini dinamakan systematiche
rechtswetenschap.[8]
6) Metode
Ekstensif
Penafsiran
ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata kata dalam peraturan
perundang-undangan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya. sebuah perkataan diberi makna lebih luas ketimbang
arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau makna yang dilazimkan
dalam percakapan sehari-hari.
Contoh: Aliran listrik di tafsirkan sebagai
benda.[9]
7) Metode
Restriktif
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo mengartikan
tafsir restriktif sebagai cara tafsir dengan cara pembatasan penafsiran sesuai
dengan kata yang mana kata tersebut sudah mempunyai makna tertentu. Apabila
suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran
yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus
dicukupkan (iktifa’) dengan makna yang jelas tersebut. Interpretasi restriktif adalah sebuah perkataan diberi
makna sesuai atau lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu
dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus
atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.[10]
Penafsiran undang-undang secara restriktif adalah suatu
penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit
kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang. Sebagai contoh dapat
diungkapkan Pasal 666 KUH Perdata berbunyi setiap tetangga termasuk penyewa
dari pekarangan sebelahnya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk
tetangga penyewa, ini berarti kita telah melakukan interpretasi restriktif.
Lain halnya penafsiran undang-undang secara ekstensif, yaitu metode
interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi
gramatikal. Contohnya, perkataan “menjual” dalam Pasal 1576 KUH Perdata
ditafsirkan luas yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli saja,
melainkan juga berarti “peralihan hak”.
Pada dasarnya merupakan lawan atau kebalikan dari penafsiran
ekstensif. Penafsiran restriktif bersifat membatasi atau memperkecil pengertian
suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut, ruang
lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu luas
sehingga kejelasan, ketegasan, dan kepastian hukum yang terkandung didalamnya
akan lebih mudah diraih. Akibatnya, dalam penerapan dan pelaksanaannya,
ketentuan hukum tersebut akan lebih mengena terhadap sasarannya karena memang
maknanya sendiri telah dibatasi dan diarahkan secara khusus kepada masalah yang
menjadi sasaran pengaturannya.
Contoh: Kerugian tidak termasuk kerugian yang tak berwujud seperti
sakit, cacat dan sebagainya.[11]
8)
Metode
Futuristis
Interpretasi
ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini
dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan yang belum mempunyai
kekuatan hukum. Tafsir hukum dilakukan dengan cara merujuk pada suatu RUU / ius
constituendum yang sudah mendapat persetujuan bersama, namun belum disahkan
secara formil, atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir
melakukan forward walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos
dalam ius constituendum tersebut sehingga pada waktu disahkan dan mengikat (in
kracht), norma hukum yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah
menjadi hukum positif (ius constitutum). Contoh kasus : pada saat UU tentang pemberantasan tindak subversi yang
pada saat itu di bahas di DPR akan mencabut berlakunya UU tersebut, maka jaksa
berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang
yang di sidik berdasar UU pemberantasan tindak pidana subversi.[12]
DAFTAR
PUSTAKA
Sudikno
Mertokusumo, S.H, Prof. 2010. Mengenal
Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
C.S.T.
Kansil, S.H, Prof. 1989. Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta: Balai Pustaka.
Regafelix.
2011. Metode Penemuan Hukum. http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/.
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Hamid
Rusdi. 2012. Metode Interpretasi dan
Kepastian Hukum Dalam Tipikor. http://tipikor99.wordpress.com/2008/11/26/metode-interpretasi-dan-kepastian-hukum-dalam-tipikor/.
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Ahmad
Rifai, S.H, Prof. 2010. Penemuan Hukum
oleh hakim dalam persfektif hukum progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Regafelix.
2011. Metode Penemuan Hukum. http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Ummu
Bari’ah. Metode Penemuan Hukum. http://yamaguchifans.blogspot.com/2012/11/tugas-pih.html
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Daliyo,
J.B. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: prenhallindo.
Anonim.
2011. interpretasi-restriktif-dan-ekstensif.
http://logikahukum.wordpress.com/tag/interpretasi-restriktif-dan-ekstensif/.
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Anonim.
2011. Sosiologi Hukum. http://sosiologihuku.blogspot.com/2009/07/sosiologi-hukum.html.
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
Anonim.
2009. Metode Interpretasi Futuristis. http://logikahukum.wordpress.com.
Diakses tanggal 4 Desember 2013.
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta:Universitas
Atma Jaya Yogyakarta,2010),hlm.218
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum (Yogyakarta:Universitas
Atma Jaya Yogyakarta,2010)hlm.223-224
[4]
Regafelix, “metode-penemuan-hukum”, http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/
(Akses 4 Desember 2013)
[5]
Hamid Rusdi, “Metode Interpretasi dan Kepastian Hukum Dalam Tipikor”, http://tipikor99.wordpress.com/2008/11/26/metode-interpretasi-dan-kepastian-hukum-dalam-tipikor/
(Akses 4 Desember 2013)
[6] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh hakim dalam persfektif
hukum progresif (Jakarta:Sinar Grafika,2010)hlm.68
[7] Regafelix,”Metode Penemuan
Hukum”, http://regafelix.wordpress.com/2012/06/06/metode-penemuan-hukum/ (Akses 4 Desember 2013)
[8] Ummu Bari’ah, “Metode
Penemuan Hukum”, http://yamaguchifans.blogspot.com/2012/11/tugas-pih.html (Akses 4 Desember 2013)
[9] J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta:
prenhallindo,2001)hlm.115
[10]
“interpretasi-restriktif-dan-ekstensif”, http://logikahukum.wordpress.com/tag/interpretasi-restriktif-dan-ekstensif/
(Akses 4 Desember 2013)
[11] “Sosiologi Hukum”, http://sosiologihuku.blogspot.com/2009/07/sosiologi-hukum.html, (Akses 4 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar