BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan
adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal
mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya,
bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Malahan
dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi
mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang
sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh
arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua
belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi
mempelai berdua, hingga mereka ini setelah nikah selanjutnya dapat hidup rukun
bahagia sebagai suami isteri sampai “kaken-kaken
ninen-ninen” (istilah jawa yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki
dan sang isteri menjadi nini-nini yang bercucu-cicit)
Oleh
karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya, maka pelaksanaannya
senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai-bagai upacara
lengkap dengan “sesajen-sesajennya”.[1]
Ini
semua barangkali dapat dinamakan tahayul, tetapi ternyata sampai sekarang
hal-hal itu masih sangat meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat
Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap dilakukan di mana-mana. Makalah
ini secara khusus akan membahas mengenai hukum adat perkawinan di indonesia,
pengaturannya, serta eksistensinya di dalam kerangka hukum nasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara
umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin anatara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujan membentuk suatu keluarga (
rumah tangga ) yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Perkawinan
adalah salah satu peritiwa yang sangat pentig dalam kehidupan masyarakat adat ,
sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai tetapi juga orang tua
kedua belah pihak , saudara – saudaranya bahkan keluarga mereka masing- masing
.
Berikut
ini akan dikemukaan definisi perkawinan menurut
ahli hukum adat :
1. Hazairin
Menurut hazairin perkawinan merupakan
rentetan perbuatan – perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan
kebahagian , dan kesuburan.
2. A.
Van Gennep
Perkawinan sebagai suatu rites de passage ( upacara peralihan )
perahlian status kedua mempelai . perahlian terdiri dari tiga tahap :
a. Rites
de separation (upacara perpisahan
dari status semula)
b. Rits
de merge (upacara perjalanan
ke status yang baru)
c. Rites
de aggregation (upacara penerimaan
dalam status yang baru)
3. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyuban atau
somah ( jawa : Keluarga ) dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas
dasar perjanjian . hubungan suami istri sebagai eratnya sebagai suatu
ketunggalan.[2]
Bahwa setelah
perkawinan suami-isteri itu merupakan suatu ketunggulan adalah terbukti antara
lain karena :
a.
Menurut
adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua mempelai itu pada saat
perkawinan melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai hingga saat itu
(nama kecil) serta kemudian memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya
mereka pakai bersama.
b.
Sesebutan
yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami isteri, yaitu “garwa” (Jawa).
Istilah ini berasal dari kata-kata ”sigaraning
nyawa” (artinya adalah belahan jiwa). Jadi jelas dari sesebutan tersebut
diatas, nyata sekali pandangan orang jawa bahwa suami isteri itu merupakan satu
ketunggalan.
c.
Adanya
harta ketunggalan harta benda dalam perkawinan yang disebut harta-gini.[3]
B. Tujuan
Perkawinan Adat
Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat Seperti apa yang
disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut
mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara umum
mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara
khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan
yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik
jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama
yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang
utuh.[4]
C.
Unsur
–Unsur Perkawinan Adat
1.
Peminangan
Meminang berarti permintaan yang menurut
hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu pihak kepada
pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan . biasanya dilakukan oleh
pihak pria kepada wanita.
2.
Pertunangan
Pertunangan adalah hubungan hukum yang
dilakukan antara orang tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan
anak-anak mereka dengan jalan peminangan . dalam hal ini nampaknya masuk pula
pengaruh kebudayaan barat dimana peresmian
pertunangan itu disertai acara tukar menukar cincin . walaupun menurut adat ini
tidak membawa akibat hukum bagi hukum adat itu sendiri.[5]
D.
Sistem Perkawinan
Kita mengenal 3
macam sistem perkawinan yaitu endogami,
exogami, dan eleutherogami.
·
Sistem
endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang sekali
terdapat di Indonesia. Menurut van vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang
secara praktis mengenal sistem endogami
ini, yaitu daerah toraja. Tetapi dalam waktu dekat, didaerah inipun sistem ini
akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan lain-lain daerah
menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut didaerah ini hanya
terdapat secara praktis saja, lagipula endogami
sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di
daerah itu, yaitu parental.
·
Sistem
exogami
Dalam sistem ini
orang diharuskan kawin dengan orang diluar suku keluarganya. Sistem demikian
ini terdapat misalnya di daerah Gayo, alas, tapanuli, minangkabau, sumatera
selatan, buru dan seram.
Dalam
perkembangan zaman ternyata sistem ini dalam daerah-daerah tersebut diatas
lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rup, hingga larangan perkawinan
itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
Dengan demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembangan masa
akan mendekati sistem eleutherogami.
·
Sistem
eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau
keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistem endogami ataupun exogami.
Larangan-larangan
yamg terdapat dalam sistem ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan
ikatan kekeluargaan yakni larangan karena:
·
nasab
(turunan yang dekat), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu
(keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga dengan saudara kandung, saudara
bapak atau ibu.
·
Musyaharah
(per-iparan, seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak tiri.
Eleutherogami
ternyata yang paling meluas di Indonesia terdapat misalnya di Aceh, Sumatera
Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian
Barat, Timor, Bali, Lombok dan seluruh Jawa Madura.[6]
Perkawinan dalam
hukum adat juga sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan atau pengaturan
kekeluargaan.
Susunan atau
pengaturan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu :
1.
Perkawinan
dalam kekeluargaan Patrilineal
·
corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”
·
pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan
diputuskan hubungan keluarga
si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
·
Isteri masuk dalam keluarga suami berikut
anak-anaknya.
·
Apabila suami meninggal, maka isteri tetap
tinggal di rumah suaminya dengan
saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
2.
Perkawinan
dalam keluarga Matrilineal
·
dalam upacara perkawianan mempelai
laki-laki dijemput
·
suami berdiam di rumah isterinya, tetapi
suami tetap dapa keluarganya sendiri.
·
Anak-anak masuk dalam clan isterinya dan
si ayah tidak mempunyai kekuasaan
terhadap anak-anaknya.
3.
Perkawinan
dalam keluarga Parental
·
setelah kawin keduanya menjadi satu
keluarga, baik keluarga suami maupun
keluarga isteri.
·
Dengan demikian dalam susunan kekelurgaan
parental suami dan isteri masing-masing
mempunyai dua keluarga yaitu kelurga suami dan keluarga isteri.[7]
E. Perceraian
Perceraian
menurut adat merupakan peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan
yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.
Menurut prof.
Djojodiguno, perceraian ini di kalangan orang jawa adalah suatu hal yang tidak
disukai. Cita-cita orang jawa ialah berjodoan sekali untuk seumur hidup,
bilaman mungkin sampai kakwn-kaken ninen-ninen artinya sampai si suaami menjadi
kaki (kakek) dan si isteri menjadi nini (nenek), yaitu orang tua-tua yang sudah
bercucu-cicit.[8]
Sebab-sebab yang
oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah :
a.
Isteri
berzinah
Perceraian yang
disebabkan karena isteri berzinah sudah barang tentu membawa akibat-akibat yang
merugikan bagi isteri. Apabila ia tertangkap basah dan dibunuh, maka suaminya
tidak usah membayar “uang bangun”.
Apabila ia tidak
dibunuh, maka ia atau keluarganya wajib membayar uang delik (Ter Haar “delikts betaling”) yang kadang-kadang
sebesar jujur dan harus mengembalikan
jujur dan disamping itu ia juga
kehilangan haknya atas bagian harta gana-gini.
Apabila isteri
meninggalkan ikatan perkawinan (bercerai) tanpa membawa apa-apa demikian ini,
maka di jawa isteri ini disebut “metu
pinjungan” di daerah Pasundan disebut “balik
taranjang”, di daerah Riau dan Jambi dinamakan “turun kain sehelai sipinggan” dan di Makasar dinamakan “solari bainenna”.
b.
Kemandulan
isteri
Isteri tidak
dapat mempunyai anak, sedangkan salah satu tujuan melakukan perkawinan itu
adalah untuk memperoleh keturunan.
c.
Impotensi
suami
Suami tidak
dapat memenuhi kehidupan bersama sebagai suami dan isteri, sehingga keturunan
tidak akan diperoleh dari perkawinan tersebut.
·
Suami
meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak sopan
Keduanya-duanya
disebabkan karena rasa saling mencintai antara suami-isteri itu memang sudah
agak lama lenyap.
·
Adanya
keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara suami dan
isteri, untuk bercerai.
Ini sangat
jaarang terjadi, sebab kehendak bersama sedemikian ini pada umumnya oleh
masing-masing keluarganya tidak dapat dibenarkan kecuali apabila hal itu
disebabkan karena alasan-alasan yang lebih yang lebih penting seperti
kemandulan, impotensi, dan lain sebagainya.[9]
F. Akibat-Akibat
Perceraian
Setelah bercerai
bekas suami isteri tersebut masing-masing dapat kawin lagi. Menurut hukum adat
dan hukum islam, bekas isteri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas suaminya,
sedangkan menurut hukum kristen ini dapat serta diatur dalam pasal 62 ordonansi
tanggal 25 pebruari 1933 staatsblad nomor 74.
Menurut hukum
kristen tersebut bekas suami diwajibkan memberi biaya untuk memelihara
anak-anaknya. Anak-anak selama masih berumur kurang dari 3 tahun selalu turut
dengan ibunya. Setelah 3 tahun atau lebih, maka anak itu dapat mengikuti
ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam lingkungan hubungan kekeluargaan
mereka atau apabila tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan yang demikian ini,
mereka mengikuti dan taat pada ketentuan pada ketentuan pada waktu perceraian.
Kesalahan pada
satu pihak menyebabkan pihak yang lain mempunyai hak yang lebih terhadap
anak-anaknya. Sangat penting dan menentukan adalah pilihan anak-anak itu
sendiri, juga penting adalah siapa dari orang tua mereka yang dalam
kenyataannya memelihara mereka.[10]
G.
Eksistensi Hukum Adat Perkawinan
Di Indonesia jauh sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang perkawinan sudah ada banyak sekali hukum yang digunakan sebagai
dasar pelaksanaan pernikahan. Itu semua
di akibatkan oleh kekayan budaya dan tradisi yang dimiliki oleh rakyat
Indonesia. Jika kita mau menghitung
berapa banyak jumlah suku di Indonesia yang mana setiap suku pastinya
memiliki hukum masing-masing,tentu butuh waktu yang lama. Tetapi pluralisme hukum perkawinan yang ada sebelum
lahirnya Undang-Undang tentang perkawinan tersebut dapat di golongkan sebagai
berikut:
1.
Bagi orang-orang Indonesia asli yang
beragama islam, berlaku hukum agamanya (hukum perkawinan islam) yg telah
diterima dalam hukum adat,
2.
Bagi orang-orang Indonesia asli
lainnya, berlaku hukum perkawinan adat
masing-masing,
3.
Bagi orang-orang Indonesia asli
lainnya yangg beragama kristen, berlaku hukum (ordonansi) perkawinan kristen
Indonesia atau HOCI (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) Stb. 1933 No.
74,
4.
Bagi orang-orang Timur Asing Cina
dan Warga Negara Indonesia Keturunan Cina, berlaku ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dengan sedikit perubahan,
5.
Bagi orang-orang Timur Asing lainnya
dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainya berlaku hukum adat
mereka, bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa atau
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata).[11]
Lalu setelah tahun 1974 secara otomatis dalam unifikasi, hukum
yang berlaku untuk bidang perkawinan Indonesia adalah Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan PP No 9/1975 tentang
Pelaksanaan UU No 1/1974.
Dengan keadaan seperti
itu tentu kita pasti bertanya, apakah hukum adat masih dapat diberlakukan dan
dalam konteks bagaimana hukum adat dapat dilaksanakan agar tidak bertentangan
dengan hukum nasional atau Undang-Undang No 1 Tahun 1974?
Analisis kasus tersebut dengan UU
No. 1 Tahun 1974 untuk mengetahui Eksistensi Hukum Perkawinan Adat
Mulai dari pasal
pertama Undang-Undnag No 1 Tahun 1974 kita akan mengetahui arti dari
perkawinan, yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Dalam pengertian
tersebut sudah sedikit berlainan dalam
tujuan perkawinan,di dalam hukum adat sendiri tujuan perkawinan lebih condong kepada penggabungan
dua keluarga menjadi satu kerabat baru yang lebih besar.
Pasal 66 dan 64 yang akan menjadi landasan pengakuan hukum
adat dalam hukum Nasional tentang perkawinan. Pasal 66, untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
“Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Namun dengan penafsiran a contrario hal-hal yang tidak
diatur dalam UU ini tetapi ada di hukum adat perkawinan maka tetap berlaku,
seperti bentuk perkawinan upacara
perkawinan dan lain-lain. Jadi pasal 66 punya fungsi sebagai dasar hukum
berlakunya hukum perkawinan adat.
Pasal 64 berbunyi
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungn dengan perkawinan yang
tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku
yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”.
Maka Tolok ukur SAH atau tidaknya perkawinan pra (sebelum)
UU Perkawinan adalah hukum perkawinan adat, namun pasca Undang-Undang
Perkawinan tolok ukur SAH merujuk Pasal 2 UU Perkawinan.
Namun terdapat juga ketentuan dalam hukum adat yang sesuai,
dimasukkan dalam Undang-Undang Perkawinan, seperti:
1.
Larangan perkawinan antara orang
yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (Pasal 8);
Pada pasal 8 UU Perkawinan mengambil atau menyerap asas larangan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan dalam sistem eleutherogami yaitu larangan menikah apabila kedua calon mempelai mempunyai hubungan turunan dekat dan hubungan periparan yang di jelaskan gamblang dalam pasal 8.
Pada pasal 8 UU Perkawinan mengambil atau menyerap asas larangan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan dalam sistem eleutherogami yaitu larangan menikah apabila kedua calon mempelai mempunyai hubungan turunan dekat dan hubungan periparan yang di jelaskan gamblang dalam pasal 8.
2.
Ketantuan seorang wanita yang putus
perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11);
Hak dan kewajiban suami isteri (Pasal 31 dan 32); dll
Dalam hukum adat masyarakat parental hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga ataupun dalm keluarga adalah sama, dan setelah menikah harus memiliki tempat tinggal yang tetap dan terpisah dari orang tua. Contohnya adalah perkawinan mentas di jawa Setelah perkawinan suami isteri memisah dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing, dan membangun keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal). Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan ke dalam perkawinan mereka. Orang tua sebelum perkawinan hanya memberi nasihat, petunjuk dalam memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan mereka berumah tangga.[12]
Dalam hukum adat masyarakat parental hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga ataupun dalm keluarga adalah sama, dan setelah menikah harus memiliki tempat tinggal yang tetap dan terpisah dari orang tua. Contohnya adalah perkawinan mentas di jawa Setelah perkawinan suami isteri memisah dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing, dan membangun keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal). Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan ke dalam perkawinan mereka. Orang tua sebelum perkawinan hanya memberi nasihat, petunjuk dalam memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan mereka berumah tangga.[12]
DAFTAR
PUSTAKA
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Buku
Wignjodiprojo,
Soerojo. 1967. Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat. Jakarta:Gunung Agung.
Djojodigoeno.
1958. Asas-Asas Hukum Adat.
Yogyakarta.
Hadikusuma,
Hilman. 1982. Hukum Perkawinan Adat. Bandung:Alumni.
Ragawino,
Bewa. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat
Indonesia.
Hadikusuma,
Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia.Bandung:Mandar Maju.
Hakim,
Lutfi. 2004. Pengantar hukum adat dan hukum
islam. Yogyakarta:LKIS.
Poespnoto,
Soebekti. 1980. Pokok-Pokok Pengertian
Hukum Adat. Bandung:Alumni Bandung.
Artikel
Yulwhinar
Duaja S; dkk, Eksistensi Aturan-Aturan Hukum Adat Perawinan Pasca Unifikasi
Bidang Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
[1] UU No. 1 Tahun 1974 dalam Bab I Pasal 1
[2] Lutfi Hakim, Pengantar hukum
adat dan hukum islam, Yogyakarta:LKIS, 2004, hlm. 54
[3] Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum
Adat, Yogyakarta:1958, hlm. 54
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Adat, Bandung:Penerbit alumni, 1982, hlm. 105
[5] poespnoto, soebekti, Pokok-Pokok
Pengertian Hukum Adat, Bandung:Alumni Bandung, 1980, hlm. 155
[6] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 132-133
[7]Bewa Ragawino, Pengantar Dan
Asas-Asas Hukum Adat Indonesia , hlm 81-83
[8] Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum
Adat, Yogyakarta:1958, hlm. 56
[9] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 143-144
[10] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 148
[11] Hilman Hadikusuma, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mandar Maju,Bansung, 2003, hlm. 40
[12] Yulwhinar Duaja S; dkk, Makalah
Eksistensi Aturan-Aturan Hukum Adat Perawinan Pasca Unifikasi Bidang Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar