Rabu, 22 Juni 2016

Hukum Adat Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Malahan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini setelah nikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami isteri sampai “kaken-kaken ninen-ninen” (istilah jawa yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan sang isteri menjadi nini-nini yang bercucu-cicit)
Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai-bagai upacara lengkap dengan “sesajen-sesajennya”.[1]
Ini semua barangkali dapat dinamakan tahayul, tetapi ternyata sampai sekarang hal-hal itu masih sangat meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap dilakukan di mana-mana. Makalah ini secara khusus akan membahas mengenai hukum adat perkawinan di indonesia, pengaturannya, serta eksistensinya di dalam kerangka hukum nasional.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Secara umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin anatara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujan membentuk suatu keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Perkawinan adalah salah satu peritiwa yang sangat pentig dalam kehidupan masyarakat adat , sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai tetapi juga orang tua kedua belah pihak , saudara – saudaranya bahkan keluarga mereka masing- masing .
Berikut ini akan dikemukaan definisi perkawinan menurut  ahli hukum adat     :
1.      Hazairin
Menurut hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan – perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan kebahagian , dan kesuburan.

2.      A. Van Gennep
Perkawinan sebagai suatu rites de passage ( upacara peralihan ) perahlian status kedua mempelai . perahlian terdiri dari tiga tahap :
a.       Rites de separation (upacara perpisahan dari status semula)
b.      Rits de merge (upacara perjalanan ke status yang baru)
c.       Rites de aggregation (upacara penerimaan dalam status yang baru)

3.      Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyuban atau somah ( jawa : Keluarga ) dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian . hubungan suami istri sebagai eratnya sebagai suatu ketunggalan.[2]

Bahwa setelah perkawinan suami-isteri itu merupakan suatu ketunggulan adalah terbukti antara lain karena :
a.       Menurut adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua mempelai itu pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai hingga saat itu (nama kecil) serta kemudian memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai bersama.
b.      Sesebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami isteri, yaitu “garwa” (Jawa). Istilah ini berasal dari kata-kata ”sigaraning nyawa” (artinya adalah belahan jiwa). Jadi jelas dari sesebutan tersebut diatas, nyata sekali pandangan orang jawa bahwa suami isteri itu merupakan satu ketunggalan.
c.       Adanya harta ketunggalan harta benda dalam perkawinan yang disebut harta-gini.[3]
B.     Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.[4]
C.    Unsur –Unsur Perkawinan Adat
                                 1.         Peminangan
Meminang berarti permintaan yang menurut hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan . biasanya dilakukan oleh pihak pria kepada wanita.

                                 2.         Pertunangan
Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan peminangan . dalam hal ini nampaknya masuk pula pengaruh kebudayaan barat dimana peresmian pertunangan itu disertai acara tukar menukar cincin . walaupun menurut adat ini tidak membawa akibat hukum bagi hukum adat itu sendiri.[5]
D.    Sistem Perkawinan
Kita mengenal 3 macam sistem perkawinan yaitu endogami, exogami, dan eleutherogami.
·         Sistem endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang sekali terdapat di Indonesia. Menurut van vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah toraja. Tetapi dalam waktu dekat, didaerah inipun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan lain-lain daerah menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut didaerah ini hanya terdapat secara praktis saja, lagipula endogami sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
·         Sistem exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar suku keluarganya. Sistem demikian ini terdapat misalnya di daerah Gayo, alas, tapanuli, minangkabau, sumatera selatan, buru dan seram.

Dalam perkembangan zaman ternyata sistem ini dalam daerah-daerah tersebut diatas lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rup, hingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Dengan demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembangan masa akan mendekati sistem eleutherogami.
·         Sistem eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistem endogami ataupun exogami.
Larangan-larangan yamg terdapat dalam sistem ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena:
·         nasab (turunan yang dekat), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
·         Musyaharah (per-iparan, seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak tiri.
Eleutherogami ternyata yang paling meluas di Indonesia terdapat misalnya di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Lombok dan seluruh Jawa Madura.[6]
Perkawinan dalam hukum adat juga sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan atau pengaturan kekeluargaan.
Susunan atau pengaturan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu :
                                                         1.         Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilineal
·         corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”
·         pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
·         Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
·         Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.

                                                        2.         Perkawinan dalam keluarga Matrilineal
·         dalam upacara perkawianan mempelai laki-laki dijemput
·         suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap dapa keluarganya sendiri.
·         Anak-anak masuk dalam clan isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
                                                        3.         Perkawinan dalam keluarga Parental
·         setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri.
·         Dengan demikian dalam susunan kekelurgaan parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu kelurga suami dan keluarga isteri.[7]
E.     Perceraian
Perceraian menurut adat merupakan peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.
Menurut prof. Djojodiguno, perceraian ini di kalangan orang jawa adalah suatu hal yang tidak disukai. Cita-cita orang jawa ialah berjodoan sekali untuk seumur hidup, bilaman mungkin sampai kakwn-kaken ninen-ninen artinya sampai si suaami menjadi kaki (kakek) dan si isteri menjadi nini (nenek), yaitu orang tua-tua yang sudah bercucu-cicit.[8]
Sebab-sebab yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah :
a.       Isteri berzinah
Perceraian yang disebabkan karena isteri berzinah sudah barang tentu membawa akibat-akibat yang merugikan bagi isteri. Apabila ia tertangkap basah dan dibunuh, maka suaminya tidak usah membayar “uang bangun”.
Apabila ia tidak dibunuh, maka ia atau keluarganya wajib membayar uang delik (Ter Haar “delikts betaling”) yang kadang-kadang sebesar jujur dan harus mengembalikan jujur dan disamping itu ia juga kehilangan haknya atas bagian harta gana-gini.
Apabila isteri meninggalkan ikatan perkawinan (bercerai) tanpa membawa apa-apa demikian ini, maka di jawa isteri ini disebut “metu pinjungan” di daerah Pasundan disebut “balik taranjang”, di daerah Riau dan Jambi dinamakan “turun kain sehelai sipinggan” dan di Makasar dinamakan “solari bainenna”.
b.      Kemandulan isteri
Isteri tidak dapat mempunyai anak, sedangkan salah satu tujuan melakukan perkawinan itu adalah untuk memperoleh keturunan.
c.       Impotensi suami
Suami tidak dapat memenuhi kehidupan bersama sebagai suami dan isteri, sehingga keturunan tidak akan diperoleh dari perkawinan tersebut.
·         Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak sopan
Keduanya-duanya disebabkan karena rasa saling mencintai antara suami-isteri itu memang sudah agak lama lenyap.
·         Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara suami dan isteri, untuk bercerai.
Ini sangat jaarang terjadi, sebab kehendak bersama sedemikian ini pada umumnya oleh masing-masing keluarganya tidak dapat dibenarkan kecuali apabila hal itu disebabkan karena alasan-alasan yang lebih yang lebih penting seperti kemandulan, impotensi, dan lain sebagainya.[9]
F.     Akibat-Akibat Perceraian
Setelah bercerai bekas suami isteri tersebut masing-masing dapat kawin lagi. Menurut hukum adat dan hukum islam, bekas isteri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas suaminya, sedangkan menurut hukum kristen ini dapat serta diatur dalam pasal 62 ordonansi tanggal 25 pebruari 1933 staatsblad nomor 74.

Menurut hukum kristen tersebut bekas suami diwajibkan memberi biaya untuk memelihara anak-anaknya. Anak-anak selama masih berumur kurang dari 3 tahun selalu turut dengan ibunya. Setelah 3 tahun atau lebih, maka anak itu dapat mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam lingkungan hubungan kekeluargaan mereka atau apabila tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan yang demikian ini, mereka mengikuti dan taat pada ketentuan pada ketentuan pada waktu perceraian.
Kesalahan pada satu pihak menyebabkan pihak yang lain mempunyai hak yang lebih terhadap anak-anaknya. Sangat penting dan menentukan adalah pilihan anak-anak itu sendiri, juga penting adalah siapa dari orang tua mereka yang dalam kenyataannya memelihara mereka.[10]
G.    Eksistensi Hukum Adat Perkawinan
Di Indonesia jauh sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah ada banyak sekali hukum yang digunakan sebagai dasar  pelaksanaan pernikahan. Itu semua di akibatkan oleh kekayan budaya dan tradisi yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Jika kita mau menghitung  berapa banyak jumlah suku di Indonesia yang mana setiap suku pastinya memiliki hukum masing-masing,tentu butuh waktu yang lama. Tetapi  pluralisme hukum perkawinan yang ada sebelum lahirnya Undang-Undang tentang perkawinan tersebut dapat di golongkan sebagai berikut:
1.      Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama islam, berlaku hukum agamanya (hukum perkawinan islam) yg telah diterima dalam hukum adat,
2.      Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum  perkawinan adat masing-masing,
3.      Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya yangg beragama kristen, berlaku hukum (ordonansi) perkawinan kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) Stb. 1933 No. 74,
4.      Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia Keturunan Cina, berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dengan sedikit perubahan,
5.      Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainya berlaku hukum adat mereka, bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa atau yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).[11]
Lalu setelah tahun 1974 secara otomatis dalam unifikasi, hukum yang berlaku untuk bidang perkawinan Indonesia adalah Undang-Undang  No 1 Tahun 1974 dan PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974.
Dengan keadaan seperti itu tentu kita pasti bertanya, apakah hukum adat masih dapat diberlakukan dan dalam konteks bagaimana hukum adat dapat dilaksanakan agar tidak bertentangan dengan hukum nasional atau Undang-Undang No 1 Tahun 1974?
Analisis kasus tersebut dengan UU No. 1 Tahun 1974 untuk mengetahui Eksistensi Hukum Perkawinan Adat     
            Mulai dari pasal pertama Undang-Undnag No 1 Tahun 1974 kita akan mengetahui arti dari perkawinan, yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Dalam pengertian tersebut sudah sedikit  berlainan dalam tujuan perkawinan,di dalam hukum adat sendiri tujuan  perkawinan lebih condong kepada penggabungan dua keluarga menjadi satu kerabat baru yang lebih besar.
Pasal 66 dan 64 yang akan menjadi landasan pengakuan hukum adat dalam hukum Nasional tentang perkawinan. Pasal 66, untuk perkawinan dan segala sesuatu yang  berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

“Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Namun dengan penafsiran a contrario hal-hal yang tidak diatur dalam UU ini tetapi ada di hukum adat perkawinan maka tetap berlaku, seperti bentuk  perkawinan upacara perkawinan dan lain-lain. Jadi pasal 66 punya fungsi sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan adat.
Pasal 64 berbunyi “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungn dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini  berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”.
Maka Tolok ukur SAH atau tidaknya perkawinan pra (sebelum) UU Perkawinan adalah hukum perkawinan adat, namun pasca Undang-Undang Perkawinan tolok ukur SAH merujuk Pasal 2 UU Perkawinan.
Namun terdapat juga ketentuan dalam hukum adat yang sesuai, dimasukkan dalam Undang-Undang Perkawinan, seperti:
1.      Larangan perkawinan antara orang yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (Pasal 8);
               Pada pasal 8 UU Perkawinan mengambil atau menyerap asas larangan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan dalam sistem eleutherogami yaitu larangan menikah apabila kedua calon mempelai mempunyai hubungan turunan dekat dan hubungan  periparan yang di jelaskan gamblang dalam pasal 8.
2.      Ketantuan seorang wanita yang putus perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11);
Hak dan kewajiban suami isteri (Pasal 31 dan 32); dll
Dalam hukum adat masyarakat parental hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga ataupun dalm keluarga adalah sama, dan setelah menikah harus memiliki tempat tinggal yang tetap dan terpisah dari orang tua. Contohnya adalah perkawinan mentas di jawa Setelah perkawinan suami isteri memisah dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing, dan membangun keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal). Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan ke dalam perkawinan mereka. Orang tua sebelum perkawinan hanya memberi nasihat, petunjuk dalam memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan mereka berumah tangga.[12]
  
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Buku
Wignjodiprojo, Soerojo. 1967. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:Gunung Agung.
Djojodigoeno. 1958. Asas-Asas Hukum Adat. Yogyakarta.
Hadikusuma, Hilman. 1982. Hukum Perkawinan Adat. Bandung:Alumni.
Ragawino, Bewa. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.Bandung:Mandar Maju.
Hakim, Lutfi. 2004. Pengantar hukum adat dan hukum islam. Yogyakarta:LKIS.
Poespnoto, Soebekti. 1980. Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat. Bandung:Alumni Bandung.

Artikel
Yulwhinar Duaja S; dkk, Eksistensi Aturan-Aturan Hukum Adat Perawinan Pasca Unifikasi Bidang Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, Universitas Sebelas Maret Surakarta.




[1] UU No. 1 Tahun 1974 dalam Bab I Pasal 1
[2] Lutfi Hakim, Pengantar hukum adat dan hukum islam, Yogyakarta:LKIS, 2004, hlm. 54
[3] Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum Adat, Yogyakarta:1958, hlm. 54
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:Penerbit alumni, 1982, hlm. 105
[5] poespnoto, soebekti, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Bandung:Alumni Bandung, 1980, hlm. 155
[6] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 132-133
[7]Bewa Ragawino, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia , hlm 81-83
[8] Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum Adat, Yogyakarta:1958, hlm. 56
[9] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 143-144
[10] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 148
[11] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mandar Maju,Bansung, 2003, hlm. 40
[12] Yulwhinar Duaja S; dkk, Makalah Eksistensi Aturan-Aturan Hukum Adat Perawinan Pasca Unifikasi Bidang Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, Universitas Sebelas Maret Surakarta.



[1] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:Gunung Agung, 1967, hlm. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar