Latar
Belakang
Sebagaimana diketahui, pada bulan
Desember Tahun
2009, 7 Lembaga Swadaya Masyarakat dan 4 tokoh nasional meminta Mahkamah
Konstitusi membatalkan larangan penafsiran agama-agama yang dianut di Indonesia
yang tercantum dalam Undang-Undang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ketentuan tersebut dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh
konstitusi. Keinginan Uji Materil (Judicial Review) Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan
melalui UU No. 5/1969 menimbulkan pro kontra di masyarakat.[1]
Ketujuh LSM itu adalah Inisiatif
Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi
(Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.[2]
Ketujuh LSM
tersebut bersama beberapa
orang pemohon lainnya
secara pribadi yaitu oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (alm), Musdah Mulia,
Dawam Raharjo, dan KH Maman Imanul Haq. Mereka mempersoalkan ketentuan dalam
Pasal 1 UU tersebut yang berbunyi, ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama
itu, penafsiran dan kegiatannya”.
Selain itu, pemohon juga
mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2), Pasal 3, serta Pasal 4a yang mengatur
ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 1. Disebutkan, pelanggaran pidana diancam
dengan hukuman penjara maksimal lima tahun.
Menurut kuasa
hukum pemohon ketentuan
tersebut jelas-jelas melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan yang
dijamin konstitusi. Pasal 1 UU itu menyebutkan secara jelas agama yang dimaksud
adalah agama yang dianut di Indonesia. Pada bagian penjelasan Pasal 1
disebutkan, agama yang dianut ada enam (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu,
dan Konghucu). Ditambah lagi lima, di antaranya Sinto, Yahudi, dan Taoism,
sehingga total berjumlah 11.
Kuasa hukum pemohon juga mempersoalkan pembatasan
tafsir yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1. Menurut dia, tafsir agama
seharusnya tidak boleh dibatasi. Tafsir agama seharusnya dikembalikan kepada
komunitas pemeluk agama yang bersangkutan. Apabila tafsir dikembalikan kepada
komunitasnya, hal itu tidak akan menimbulkan persoalan yang besar.
Sikap Pemerintah & Ormas Islam
Ketua Majelis
Hakim Arsyad Sanusi meminta para pemohon agar memerhatikan betul permohonan
mereka. Menurutnya, esensi Pasal 1 UU tersebut sebenarnya adalah larangan
membuat tafsir dan melakukan kegiatan yang menyimpang. Sehingga, dengan tegas Pemerintah
menolak permohonan uji materiil (judicial review) UU No 1 Tahun 1965 tentang
Tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Terhadap Agama yang digelar di Mahkamah
Konstitusi. Pemerintah yang diwakili Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan
HAM bahkan mencurigai permohonan itu dilatarbelakangi alasan tertentu.
Menteri Agama Suryadharma Ali
menyatakan, pemerintah telah melakukan penyelidikan terhadap latar belakang
agama terhadap pemohon untuk menghadapi sidang ini. Ia khawatir terdapat
kepentingan tertentu dalam permohonan ini. Pasalnya, UU ini dianggap sudah
mencukupi kebutuhan perlindungan terhadap kehidupan beragama.
Sementara itu, MUI yang dihadirkan
sebagai pihak terkait dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menegaskan adanya
kepentingan kelompok tertentu dalam permohonan ini. Ketua MUI, Amidhan,
meyakini kepentingan kelompok tertentu ini terkait dengan kasus pelarangan
penyebaran ajaran Ahmadiyah.
Tentu saja usulan judicial review
mendapat reaksi cukup keras dari kalangan ormas islam. Antara lain
Muhammadiyah, NU, HTI dan lain-lain. Dua ormas Islam terkemuka, NU dan
Muhammaduyah menilai, jika peraturan itu jadi diubah, maka akan sangat
berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di
Indonesia.
Pengurus Pusat lembaga Dakwah
Nahdlatul Ulama (PP LDNU) mendukung sepenuhnya upaya pihak-pihak yang menolak
pengajuan uji materi UU No. 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. PP LDNU Beranggapan bahwa pola hidup masyarakat akan berantakan
jika UU mengenai penodaan agama tadi dicabut.
Menurut Kiai Nuril -sapaan akrab KH
AN. Nuril Huda, UU UU No. 1 Tahun 1965 ini memberikan perlindungan kepada
agama-agama yang ada di Indonesia. UU ini secara filosofis juga didukung oleh
kebenaran universal dan kodrat kehidupan bermasyarakat. Karenanya, Kiai Nuril
berharap, jangan sampai orang seseorang dapat bebas semaunya mendirikan ajaran
sesuai keinginannya. Sebab, lanjut Kiai Nuril, hal ini mengganggu ketertiban
masyarakat sekitarnya.
Sementara itu, PP Muhammadiyah
menganggap UU penodaan agama masih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Fattah
Wibisono, Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
mengatakan, UU penodaan agama perlu untuk mencegah tindakan anarkisme
masyarakat. Fatah mengatakan, dengan adanya UU Penodaan Agama, pemerintah telah
menjalankan apa yang disebut kebebasan beragama.
Kontroversi
Penolakan Gugatan
Protes tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak
pengajuan gugatan Judicial Review ini
terus berdatangan, termasuk dari Komisi Nasional Perempuan yang menilai bahwa
UU ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman yang menuntut adanya
kebebasan bagi setiap warga negara dalam hal beragama, yang tentu saja harus
mendapatkan perlindungan serta pengakuan dari pemerintah. menurut mereka, hal
ini sebagai suatu bentuk inkonstitusional pemerintah yang membatasi hak asasi
warga negaranya, serta terkesan melakukan upaya diskriminatif terhadap
agama-agama yang belum diakui di Indonesia.
Problem
terbesar dari pemberlakuan UU Penodaan Agama adalah tidak adanya perlindungan
bagi pemeluk agama di luar enam agama yang diakui pemerintah, dalam beribadah. Dari
aspek administratif, seringkali para penganut agama di luar enam agama yang
diakui pemerintah menemui kendala saat berurusan dengan birokrasi. Mulai dari
urusan mendapatkan KTP, akte lahir, akses ke pendidikan, hingga administrasi
jaminan kesehatan. Tak jarang para pemuluk agama di luar enam agama yang diakui
dipersulit akses mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, serta kebutuhan
lainnya.
Kesimpulan
Pada
dasarnya segala peraturan perundang-undangan yang dibuat sebelumnya telah
melewati berbagai macam segala pertimbangan, termasuk pertimbangan
potensi-potensi di masa depan yang memungkinkan penerapan dari pasal-pasal
dalam undang-undang tersebut menemui kendala. Undang-undang lazimnya memang
dibentuk sebagai suatu kebutuhan bersama antara warga negara demi menjaga
stabilitas sosial kemasyarakatan. Namun, memang pada kenyataannya banyak
undang-undang yang dibentuk justru malah terbentur dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat lain, semacam kaum minoritas.
Dalam
kasus UU Penodaan Agama juga termasuk undang-undang yang dianggap sebagai upaya
diskriminatif pemerintah terhadap kebebasan beragama, bagi sebagian kaum
minoritas. Hal ini menurut saya dipengaruhi oleh pemahaman mereka (kaum
minoritas) tentang sebuah konsep dasar HAM yang memang mendefinisikan kebebasan
beragama adalah hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dalam rangka memenuhi
hajat hidupnya dan harus mendapat perlindungan agar tidak diintervensi oleh
pihak lain. Inilah yang pada akhirnya memicu kontroversi pemberlakuan UU
Penodaan Agama karena tidak menyebutkan agama-agama lain selain 6 agama yang
diakui di Indonesia guna mendapatkan pengakuan bahkan perlindungan dari
pemerintah, padahal konsepsi kebebasan beragama adalah hal mutlak yang harus
diakui pemerintah terhadap warga negaranya. Akan tetapi saya menilai ada suatu
kekeliruan paradigma berfikir yang dimiliki masyarakat kita tentang penyikapan
terhadap UU Penodaan Agama ini, karena tujuan dari pembentukkan undang-undang
ini jelas, sebagai bentuk/upaya perlindungan pemerintah terhadap pengakuan HAM
dalam hal kebebasan beragama dan mengakomodasi setiap warga negara dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan syari’at yang diatur agamanya masing-masing.
Jadi,
dibentuknya undang-undang ini justru akan melindungi orisinalitas tiap-tiap
agama serta memberikan ketenangan bagi warga negara dalam beribadah karena
meminimalisir upaya-upaya pihak tertentu yang dengan sengaja melakukan upaya
penggubahan terhadap nilai dasar yang melekat pada agama tersebut, bukan sebuah
upaya pembatasan HAM dalam beragama seperti yang selama ini didengungkan oleh
para pihak yang kontra terhadap undang-undang ini.
Melalui
dasar pemikiran tersebut, saya sepakat dengan apa yang telah dilakukan MK yaitu
menolak gugatan Judicial Review oleh
para penggugat, karena dianggap undang-undang ini tetap relevan dan masih
dibutuhkan dalam realita kemajemukan hidup kenegaraan yang berlandaskan Bhineka
Tunggal Ika dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini memberikan suatu cakrawala baru
bagi dimensi keilmuan kita bahwa ternyata eksistensi HAM di Indonesia
memerlukan suatu standar yang mungkin berbeda dengan keberadaan HAM di
negara-negara barat lain agar kebebasan HAM ini tetap bisa diakomodir tanpa
merugikan/mencemari hak manusia lainnya. Tujuannya agar warga negara tidak bisa
semaunya membentuk agama baru, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang masih
tabu dalam budaya masyarakat kita. Artinya konsepsi HAM memang harus
dikembalikan lagi pada tempat dimana ia berada, bukan tempat ia berasal.
Mengenai umat agama lain yang tidak disebut dalam undang-undang ini, menurut
saya ini bukanlah masalah mendapat perlindungan atau tidak, karena walaupun
mereka ini termasuk kaum minoritas, kita tetap harus menghormati keberadaan
mereka sebagai manusia yang telah diciptakan Allah dengan sebuah nyawa
kehidupan sehingga sepatutnya kita bisa menjaga mereka selayaknya kita bisa
berdampingan dengan kaum mayoritas yang lain. Sekali lagi, saya berpendapat
bahwa tujuan diundangkannya undang-undang ini adalah demi menjaga kerukunan
antar umat serta menjamin eksistensi tiap-tiap agama dengan berpegang teguh
pada syari’atnya. Agar tidak terjadi penyelewengan yang kemudian berdampak pada
dinamika yang tidak sehat dalam perilaku sosial masyarakat kita, dan ini
bukanlah suatu pembatasan bahkan diskriminasi terhadap penegakkan HAM di
Indonesia, justru undang-undang ini sebagai pengokoh fondasi supremasi HAM
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar