Rabu, 22 Juni 2016

ANALISIS KRITIS KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HAM (Menyoal Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Gugatan Judicial Review UU Penodaan Agama)


Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, pada bulan Desember Tahun 2009, 7 Lembaga Swadaya Masyarakat dan 4 tokoh nasional meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan larangan penafsiran agama-agama yang dianut di Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketentuan tersebut dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Keinginan Uji Materil (Judicial Review) Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No. 5/1969 menimbulkan pro kontra di masyarakat.[1]
Ketujuh LSM itu adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.[2]
Ketujuh LSM tersebut bersama beberapa orang pemohon lainnya secara pribadi yaitu oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (alm), Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan KH Maman Imanul Haq. Mereka mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 1 UU tersebut yang berbunyi, ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatannya”.
Selain itu, pemohon juga mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2), Pasal 3, serta Pasal 4a yang mengatur ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 1. Disebutkan, pelanggaran pidana diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun.
Menurut kuasa hukum pemohon ketentuan tersebut jelas-jelas melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan yang dijamin konstitusi. Pasal 1 UU itu menyebutkan secara jelas agama yang dimaksud adalah agama yang dianut di Indonesia. Pada bagian penjelasan Pasal 1 disebutkan, agama yang dianut ada enam (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu). Ditambah lagi lima, di antaranya Sinto, Yahudi, dan Taoism, sehingga total berjumlah 11.
Kuasa hukum pemohon juga mempersoalkan pembatasan tafsir yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1. Menurut dia, tafsir agama seharusnya tidak boleh dibatasi. Tafsir agama seharusnya dikembalikan kepada komunitas pemeluk agama yang bersangkutan. Apabila tafsir dikembalikan kepada komunitasnya, hal itu tidak akan menimbulkan persoalan yang besar.
Sikap Pemerintah & Ormas Islam
Ketua Majelis Hakim Arsyad Sanusi meminta para pemohon agar memerhatikan betul permohonan mereka. Menurutnya, esensi Pasal 1 UU tersebut sebenarnya adalah larangan membuat tafsir dan melakukan kegiatan yang menyimpang. Sehingga, dengan tegas Pemerintah menolak permohonan uji materiil (judicial review) UU No 1 Tahun 1965 tentang Tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Terhadap Agama yang digelar di Mahkamah Konstitusi. Pemerintah yang diwakili Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM bahkan mencurigai permohonan itu dilatarbelakangi alasan tertentu.
Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan, pemerintah telah melakukan penyelidikan terhadap latar belakang agama terhadap pemohon untuk menghadapi sidang ini. Ia khawatir terdapat kepentingan tertentu dalam permohonan ini. Pasalnya, UU ini dianggap sudah mencukupi kebutuhan perlindungan terhadap kehidupan beragama.
Sementara itu, MUI yang dihadirkan sebagai pihak terkait dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menegaskan adanya kepentingan kelompok tertentu dalam permohonan ini. Ketua MUI, Amidhan, meyakini kepentingan kelompok tertentu ini terkait dengan kasus pelarangan penyebaran ajaran Ahmadiyah.
Tentu saja usulan judicial review mendapat reaksi cukup keras dari kalangan ormas islam. Antara lain Muhammadiyah, NU, HTI dan lain-lain. Dua ormas Islam terkemuka, NU dan Muhammaduyah menilai, jika peraturan itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia.
Pengurus Pusat lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) mendukung sepenuhnya upaya pihak-pihak yang menolak pengajuan uji materi UU No. 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. PP LDNU Beranggapan bahwa pola hidup masyarakat akan berantakan jika UU mengenai penodaan agama tadi dicabut.
Menurut Kiai Nuril -sapaan akrab KH AN. Nuril Huda, UU UU No. 1 Tahun 1965 ini memberikan perlindungan kepada agama-agama yang ada di Indonesia. UU ini secara filosofis juga didukung oleh kebenaran universal dan kodrat kehidupan bermasyarakat. Karenanya, Kiai Nuril berharap, jangan sampai orang seseorang dapat bebas semaunya mendirikan ajaran sesuai keinginannya. Sebab, lanjut Kiai Nuril, hal ini mengganggu ketertiban masyarakat sekitarnya.
Sementara itu, PP Muhammadiyah menganggap UU penodaan agama masih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Fattah Wibisono, Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengatakan, UU penodaan agama perlu untuk mencegah tindakan anarkisme masyarakat. Fatah mengatakan, dengan adanya UU Penodaan Agama, pemerintah telah menjalankan apa yang disebut kebebasan beragama.
Kontroversi Penolakan Gugatan
Protes tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengajuan gugatan Judicial Review ini terus berdatangan, termasuk dari Komisi Nasional Perempuan yang menilai bahwa UU ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman yang menuntut adanya kebebasan bagi setiap warga negara dalam hal beragama, yang tentu saja harus mendapatkan perlindungan serta pengakuan dari pemerintah. menurut mereka, hal ini sebagai suatu bentuk inkonstitusional pemerintah yang membatasi hak asasi warga negaranya, serta terkesan melakukan upaya diskriminatif terhadap agama-agama yang belum diakui di Indonesia.
Problem terbesar dari pemberlakuan UU Penodaan Agama adalah tidak adanya perlindungan bagi pemeluk agama di luar enam agama yang diakui pemerintah, dalam beribadah. Dari aspek administratif, seringkali para penganut agama di luar enam agama yang diakui pemerintah menemui kendala saat berurusan dengan birokrasi. Mulai dari urusan mendapatkan KTP, akte lahir, akses ke pendidikan, hingga administrasi jaminan kesehatan. Tak jarang para pemuluk agama di luar enam agama yang diakui dipersulit akses mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, serta kebutuhan lainnya.
Kesimpulan
Pada dasarnya segala peraturan perundang-undangan yang dibuat sebelumnya telah melewati berbagai macam segala pertimbangan, termasuk pertimbangan potensi-potensi di masa depan yang memungkinkan penerapan dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut menemui kendala. Undang-undang lazimnya memang dibentuk sebagai suatu kebutuhan bersama antara warga negara demi menjaga stabilitas sosial kemasyarakatan. Namun, memang pada kenyataannya banyak undang-undang yang dibentuk justru malah terbentur dengan kepentingan-kepentingan masyarakat lain, semacam kaum minoritas.
Dalam kasus UU Penodaan Agama juga termasuk undang-undang yang dianggap sebagai upaya diskriminatif pemerintah terhadap kebebasan beragama, bagi sebagian kaum minoritas. Hal ini menurut saya dipengaruhi oleh pemahaman mereka (kaum minoritas) tentang sebuah konsep dasar HAM yang memang mendefinisikan kebebasan beragama adalah hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dalam rangka memenuhi hajat hidupnya dan harus mendapat perlindungan agar tidak diintervensi oleh pihak lain. Inilah yang pada akhirnya memicu kontroversi pemberlakuan UU Penodaan Agama karena tidak menyebutkan agama-agama lain selain 6 agama yang diakui di Indonesia guna mendapatkan pengakuan bahkan perlindungan dari pemerintah, padahal konsepsi kebebasan beragama adalah hal mutlak yang harus diakui pemerintah terhadap warga negaranya. Akan tetapi saya menilai ada suatu kekeliruan paradigma berfikir yang dimiliki masyarakat kita tentang penyikapan terhadap UU Penodaan Agama ini, karena tujuan dari pembentukkan undang-undang ini jelas, sebagai bentuk/upaya perlindungan pemerintah terhadap pengakuan HAM dalam hal kebebasan beragama dan mengakomodasi setiap warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan syari’at yang diatur agamanya masing-masing.
Jadi, dibentuknya undang-undang ini justru akan melindungi orisinalitas tiap-tiap agama serta memberikan ketenangan bagi warga negara dalam beribadah karena meminimalisir upaya-upaya pihak tertentu yang dengan sengaja melakukan upaya penggubahan terhadap nilai dasar yang melekat pada agama tersebut, bukan sebuah upaya pembatasan HAM dalam beragama seperti yang selama ini didengungkan oleh para pihak yang kontra terhadap undang-undang ini.
Melalui dasar pemikiran tersebut, saya sepakat dengan apa yang telah dilakukan MK yaitu menolak gugatan Judicial Review oleh para penggugat, karena dianggap undang-undang ini tetap relevan dan masih dibutuhkan dalam realita kemajemukan hidup kenegaraan yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini memberikan suatu cakrawala baru bagi dimensi keilmuan kita bahwa ternyata eksistensi HAM di Indonesia memerlukan suatu standar yang mungkin berbeda dengan keberadaan HAM di negara-negara barat lain agar kebebasan HAM ini tetap bisa diakomodir tanpa merugikan/mencemari hak manusia lainnya. Tujuannya agar warga negara tidak bisa semaunya membentuk agama baru, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang masih tabu dalam budaya masyarakat kita. Artinya konsepsi HAM memang harus dikembalikan lagi pada tempat dimana ia berada, bukan tempat ia berasal. Mengenai umat agama lain yang tidak disebut dalam undang-undang ini, menurut saya ini bukanlah masalah mendapat perlindungan atau tidak, karena walaupun mereka ini termasuk kaum minoritas, kita tetap harus menghormati keberadaan mereka sebagai manusia yang telah diciptakan Allah dengan sebuah nyawa kehidupan sehingga sepatutnya kita bisa menjaga mereka selayaknya kita bisa berdampingan dengan kaum mayoritas yang lain. Sekali lagi, saya berpendapat bahwa tujuan diundangkannya undang-undang ini adalah demi menjaga kerukunan antar umat serta menjamin eksistensi tiap-tiap agama dengan berpegang teguh pada syari’atnya. Agar tidak terjadi penyelewengan yang kemudian berdampak pada dinamika yang tidak sehat dalam perilaku sosial masyarakat kita, dan ini bukanlah suatu pembatasan bahkan diskriminasi terhadap penegakkan HAM di Indonesia, justru undang-undang ini sebagai pengokoh fondasi supremasi HAM Indonesia.



[1] Ikhlas Beramal, Keputusan MK tolak uji materi UU No.1/PNPS 1965, Nomor 62 Tahun Xiii April 2010, hlm. 8.
[2] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar