Selasa, 21 Juni 2016

PROGRAM PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIKAN SAHAM NASIONAL DI BERBAGAI NEGARA


1.    Latar Belakang
Program peningkatan pemilikan saham nasional pada penanaman modal asing di beberapa negara pada dasarnya bukan merupakan hal baru. Program tersebut telah dilaksanakan di beberapa negara, hanya pertimbangan dan latar belakangnya berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Namun tujuannya umumnya sama yaitu meningkatkan partisipasi pihak nasional ke dalam bentuk pemilikan saham dalam perusahaan modal asing dan selanjutnya diarahkan kepada tujuan pemilikan mayoritas.
Meningkatnya kegiatan modal asing dalam bidang industri dan perdagangan baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang telah mendorong tuntutan ditingkatkannya persyaratan pengawasan. Peningkatan penyertaan pemilikan saham dan persyaratan pengawasan ini pun dengan demikian juga bukan hal baru dan justru telah dialami bangsa maju maupun negara sedang berkembang. Banyak negara maju seperti Prancis, kanada, Australia menjadi sensitif atas dominasi asing dalam sektor industri dan perdagangan di negaranya. Karena itulah maka negara-negara sedang berkembang juga umumnya sensitif terhadap dominasi modal asing atas modal nasional di negaranya. Karena itulah negara-negara Brazil, Mesir, Korea, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Filipina, Taiwan, juga Indonesia telah melansir program peningkatan partisipasi modal nasional dalam perusahaan modal asing.
Langkah peningkatan partisipasi modal nasional dalam usaha modal asing tersebut melalui proses diawali dengan pembentukan usaha sepenuhnya dimiliki asing, menuju kepada bentuk perusahaan patungan dengan mayoritas asing dan pada gilirannya penyertaan modal nasional meningkat menjadi mayoritas.
Umumnya partisipasi modal nasional menjadi mayoritas merupakan kebijaksanaan negara sedang berkembang seperti halnya juga di Indonesia.[1] Namun dalam pelaksanaannya umumnya disertai pertimbangan prioritas dari bidang-bidang penanaman modal yang bersangkutan. Karena itu, ada beberapa negara yang secara selektif mensyaratkan partisipasi nasional mayoritas untuk bidang tertentu seperti: padat karya, meningkatkan ekspor dan substitusi impor. Beberapa pertimbangan juga dikaitkan dengan kebutuhan devisa dari negara untuk pembangunan ekonominya yang semula dipenuhi dengan bantuan pinjaman luar negeri dan modal asing.
Di sini tampak kompleksnya program peningkatan penyertaan modal nasional dalam perusahaan modal asing, antara lain terkait dengan; kekhawatiran dominasi modal asing dan usaha meningkatkan kemampuan nasional untuk melaksanakan partisipasi tersebut sehingga berperan dalam tata ekonomi nasionalnya. Dua hal tersebut membawa implikasi yang jauh dalam program pengaturan hukumnya.
Aspek-aspek hukum yang mengatur program peningkatan partisipasi nasional juga bervariasi. Pengaturan dalam Hukum Perseroan, UU Penanaman Modal, UU Pengawasan Lalu Lintas Devisa, Kebijaksanaan penetapan prioritas penanaman modal dan UU Pasar Modal serta serangkaian kebijaksanaan di bidang fiskal moneter, secara menyeluruh terkait. Karena itu pelaksanaan program peningkatan partisipasi modal nasional dalam perusahaan modal asing berkaitan secara multidisipliner. Dan dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan aspek multidisipliner itu.
Strategi pelaksanaannya juga terkait dengan beberapa aspek, perencanaan, kemampuan menggali sumber dalam negeri, dan penciptaan iklim yang mantap sehingga pihak-pihak yang bersangkutan dapat secara timbal balik menyambut program peningkatan partisipasi nasional tersebut. Seperti halnya di Indonesia dalam upaya peningkatan partisipasi nasional melalui pengakhiran kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tetap terpelihara iklim usaha yang dapat menunjang penanaman modal dengan memperhatikan aspek-aspek sosial politik dan keamanan dan ketertiban masyarakat (KAMTIBMAS) untuk mencegah timbulnya kegoncangan-kegoncangan yang dapat mengganggu stabilitas yang telah dicapai di berbagai bidang.[2]
Untuk itu program peningkatan partisipasi nasional perusahaan modal asing di beberapa negara perlu dipelajari, agar secara perbandingan dapat memperkuat pertimbangan program peningkatan partisipasi pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.


2.    Program di beberapa negara

1.    Brazilia
Program penyertaan modal nasional dalam perusahaan modal asing oleh pemerintah Brazilia diwali dengan melancarkan konsep “open capital corporation” pada 1965.[3] Tujuannya adalah untuk mengawasi pemilikan saham asing dan meningkatkan penyertaan pihak nasional. untuk pelaksanaannya didorong dengan serangkaian fasilitas-insentif.
Program tersebut mempunyai ciri-ciri:
(1)  Pemberian keringanan pajak pendapatan sebesar 5% kepada perusahaan yang memenuhi syarat “open capital corporation”. Kepada perusahaan yang masuk kategori open capital corporation tersebut disyaratkan sekurang-kurangnya 10% sahamnya setiap tahun dimiliki peserta lokal sampai berjumlah 50%.
(2)  Perusahaan yang termasuk “open capital company” mempunyai hak untuk pengurangan pajak deviden sampai jumlah yang ditetapkan.
(3)  Saham dari perusahaan “open capital company” yang dibeli oleh lembaga mutual fund yang ditunjuk memperoleh insentif pajak sehingga dapat menarik masyarakat untuk menanamkan modalnya dalam lembaga tersebut.
(4)  Pemilik saham dari “open capital company” mendapat fasilitas keringanan pajak pendapatan 6% atas jumlah yang dibeli di pasar modal dan 12% atas pembelian pada pasar perdana.
(5)  Pemilik saham dari “open capital company” dibebaskan dari persyaratan kena pajak atas $650 pertama dari deviden yang diterimanya.
Sampai 1978 iklim penanaman modal asing di Brazilia tetap mantap walaupun peraturan perundang-undangan tersebut sejak 1965 diberlakukan. Ada beberapa hal yang merupakan ciri khas pengembangan pasar modal di Brazilia yaitu peran bantuan luar negeri yang diarahkan untuk kegiatan underwriting dan untuk membuat pasar modal likuid, sebagai resolving fund. Dana yang likuid ini dijadikan kredit lagi underwriter  dan market makers untuk jangka waktu yang dibutuhkan guna membiayai pemegang surat berharga dalam menjalankan perdagangan secara normal. Persediaan dana yang revolving untuk para market maker tersebut akan menjamin para penanam modal bahwa mereka dapat menjual surat berharga yang dipegangnya setiap saat, sehingga mereka tertarik untuk membeli dan memperdagangkannya. Dengan demikian pasar modal itu dapat menjembatani preferensi likuiditas yang tinggi dengan penyediaan modal jangka panjang yang dibutuhkan untuk pembangunan. Hal ini berarti perusahaan yang membutuhkan modal jangka panjang akan didorong untuk mengembangkan surat berharga jangka panjangnya dalam pasar modal; sebagai pengganti dari pinjaman langsung dari lembaga perbankan nasional/internasional. Lembaga ini hanya memberika pinjaman untuk sebagian saja dari kebutuhan dana perusahaan tersebut. Kredit tersebut umumnya menjadi berbentuk kredit obligasi atau stock market credit kepada semua pembeli surat berharga jangka panjang dari proyek-proyek yang disetujui. Pendekatan demikian telah berhasil meningkatkan partisipasi modal nasioanal dalam kegiatan perusahaan pada umumnya.
2.    Korea Selatan
Negara ini selama hampir 10 tahun mengalami keadaan ketergantungan pada bantuan luar negeri dan hingga akhir tahun 2010 Tingkat ketergantungan ekonomi Korea pada ekspor dan impor dengan luar negeri tercatat paling tinggi di antara negara anggota G20[4], dengan tanpa ada harapan kemungkinan untuk meningkatkan perkembangan ekonominya dari sumber-sumber di dalam negerinya. Keadaan pada saat itu juga tidak menunjang pembangunan karena korupsi yang merajalela dan inflasi yang tidak terkendali. Hal itu menyulitkan pembahasan mengenai bantuan luar negeri, apalagi ekspor dari produk negara tersebut sangat kecil.
Keadaannya sekarang telah berubah secara drastic. Pada saat ini perkembangan ekonomi di korea selatan meningkat hamper 10% setiap tahunnya, ekspor meningkat sekitar 40% per tahunnya dan bantuan luar negeri telah berangsur-angsur menjadi pinjaman dengan syarat-syarat komersil.
Pengalaman korea ini menunjukkan bahwa bantuan luar negeri memberikan pengaruh yang penting, walaupun faktor-faktor yang lainnya mungkin kurang menunjang. Pengalaman ini juga menunjjukkan keberhasilan atas program bantuan luar negeri dalam menetapkan kebijaksanaan untuk mencapai perkembangan ekonomi.
Dinilai dari tahap-tahap pembangunannya, setelah perang dunia II, keadaan ekonomi di korea tergantung dari pasar jepang. Kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh adalah mempertahankan tingkat konsumsi yang ada dan mengusahakan bantuan luar negeri sebesar mungkin untuk mengadakan pembangunan kembali sector industri dan prasarana di negara tersebut. Kesulitan tersebut tergambar karena sumber-sumber di dalam negeri sangat terbatas dan struktur administrasi negara tidak mampu untuk meningkatkan efektivitas pungutan pajak atau atau melaksanakan pengawasan pengawasan tanpa ada korupsi. Keadaan tersebut telah memaksa pemerintah korea menetapkan kebijaksanaan menekan inflasi dengan program penghematan, sementara program industry digalakkan melalui impor barang-barang modal.
Keterlibatan pemerintah dalam anggaran dan investasi di sector industry meningkat dalam bentuk program perkreditan. Demikian juga terhadap partisipasi modal pemerintah dalam kegiatan industry yang cukup besar. Langkah-langkah selanjutnya telah diambil melalui program penyertaan 50% modal nasional dalam perusahaan asing. Pelaksanaannya dengan berbagai kebijakan penetapan prioritas proyek seperti:
1.    Proyek padat karya;
2.    Industry yang memproses bahan baku lokal;
3.    Industry prosesing di dalam bonded area;
4.    Industry yang mempunyai pasaran dalam negeri.
Dalam hal ini program partisipasi nasional bersifat prospektif, dan fasilitas penanaman modalnya ditetapkan sesuai dengan rasio kepemilikan saham yang dipegang pihak asing terhadap total investasinya. Dan selanjutnya fasilitas khusus diberikan untuk proyek tertentu yang dapat memenuhi kewajiban persyaratan kepemilikan saham kepada pihak nasional dalam waktu yang ditetapkan. Program ini diberlakukan untuk proyek prioritas yang didorong, dan pemerintah memberi fasilitas tersebut kepada pihak yang siap menjual sahamnya yang telah ditetapkan selama 5 tahun.[5]


3.    Malaysia.
Di Malaysia pemerintahnya menetapkan target untuk meningkatkan partisipasi nasionalnya untuk semua kegiatan perdagangan dan industry sampai dengan 30% dalam waktu 20 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya penyertaan 30% partisipasi nasional tersebut ditingkatkan menjadi 51% khusus untuk sector penanaman modal tertentu, seperti proyek yang mempunyai potensi ekspor, kegiatan penanaman modal yang menyerap tenaga kerja, kegiatan penanaman modal yang mempunyai status pionir dan proyek-proyek di sector pertanian, perikanan dan pertambangan. Di sector lainnya ditetapkan persyaratan partisipasi penanaman modal asing harus dikurangi menjadi kurang dari 49%, sedangkan partisipasi dalam negeri ditingkatkan menjadi 30% selama 5 Tahun. Untuk penyelenggaraanyapemerintah Malaysia membentuk trust fund yang bertugas membeli saham modal asing dan memegangnya untuk didistribusikan/dijual kepada masyarakat malaisya. Unit trust fund lainnya dibentuk dengan tugas untuk jual beli saham baru yang dicadangkan untuk dijual kepada masyarakat malaisya.
Kebijakan penanaman modal pemerintah malaisya ditujukan untuk:
1.    Meningkatkan secara bertahap redistribusi kekayaan dari pihak asing kepada pihak nasional.
2.    Meyakinkan bahwa malaisya mempunyai hak untuk partisipasi dalam kegiatan perdagangan dan industry di negaranya.
3.    Menciptakan keseimbangan dalam kepemilikan dan pengelolaan dalam kegiatan usaha nasional dana sing, sehingga membantu dalam pembangunan ekonomi social sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Pendekatan partisipasi nasional dalam kegiatan perdangangan dan industry oleh pihak nasional telah menyebabkan banyak negara menjadi sensitive atas dominasi modal asing di sector ekonomi mereka. Karena itu pola partisipasi nasional dalam pemilikan dan pengelolaan ekonomi malaisya sangat diperlukan untuk penyelamatan kegiatan tersebut dan untuk langkah-langkah pengarahannya.
Pada tahun 1970 sekitar 60% saham modal dari total investasi di malaysia dimiliki asing. Pemerintah negara tersebut merencanakan dengan langkah-langkah redistribusi, dalam 20 tahun dominasi asing tersebutakan diturunkan menjadi 30%, sementara itu arus penanaman modal secara riil tetap meningkat sesuai dengan perkembangan ekonomi yang ada. Direncanakan pada tahun 1990 partisipasi modal nasional akan 5 kali lebih besar daripada tahun 1970, kemudian untuk penanaman modal asing menjadi 45% saja dari total investasi di negara tersebut. Ruang gerak ekonomi perdagangan dan industry di Malaysia cukup luas untuk menampung rencana tersebut dan penanaman modal asing akan tetap didorong.
Pemerintah malaisya yakin bahwa dengan langkah-langkah kebijakan tersebut akan membawa kesatuan bangsa dengan dasar partisipasi yang wajar kepada semua warganya hal ini juga akan memperkuat kestabilan politik yang ada di satu pihak dan juga kegiatan investasinya menjadi aman dan pasti di pihak lain, sehingga jaminan keamanan investasi tidak perlu lagi diminta dari hasil kestabilan politik, melainkan pemerintah dengan pengarahan partisipasi dalam kegiatan investasi tersebut diatas, dapat terbina hubungan kerja sama yang wajar tanpa ada prasangka negative dari masing-masing pihak.[6]
Namun, pada tahun 2009 malaysia menghapuskan kewajiban untuk menyisihkan 30% saham perusahaan untuk etnis Melayu atau bumiputra. Pemerintah Malaysia juga telah menghapus peraturan mengenai investasi asing. Kebijakan tersebut melonggarkan batasan jumlah saham yang dapat dimiliki oleh investor asing di sektor finansial. Dari 49% ditingkatkan menjadi 70%. Sektor lain pun diliberalisasi guna meningkatkan investasi asing di Malaysia.[7]
4.    Meksiko
Pemerintah meksiko membatasi pemilikan saham asing sampai dengan 49% untuk beberapa sector tertentu bahkan lebih kecil. Ada beberapa pengaturan “trust” untuk mengurangi saham yang dimiliki asing. Walaupun pemilikan saham gadungan (stroomen) dilarang, tetapi pelaksanaanya sulit. Beberapa kasus dapat ditemui dimana satu bank membeli saham dan menahannya untuk untuk selanjutnya dijual pada masyarakat meksiko dengan pengertian bahwa bank tidak menerima penghasilan dari saham yang dimiliki akan tetapi memiliki hak suara. Dalam program ini pemerintah meksiko memberikan insentif, terutama diberikan kepada perusahaan asing yang menunjang pembangunan ekonomi meksiko. Pemberian insentif demikian merupakan program kebijakan yang fleksibel.
Semua saham yang dimiliki asing di meksiko harus atas tunjuk. Hal ini penting kaitannya berhubung bagian terbesar dari perusahaan di meksiko dimiliki asing, termasuk media massa, keuangan, transportasi, perbangkan, dan kegiatan kegiatan yang semula dicadangkan untuk dikelola oleh negara seperti minyak, pertambangan dan tenaga nuklir.[8]
5.    Mesir.
Pemerintah mesir pada tahun 1974 menerbitkan Undang-undang baru tentang penanaman modal dalam negeri dan asing. Proyek yang terbuka bagi penanaman modal tersebut secara luas dirumuskan, sehingga termasuk dalam bidang intangible seperti paten. Namun demikian, di sector perbangkan yang mengelola transaksi mata uang lokal hanya diizinkan dalam bentuk usaha patungan dengan partisipasi lokal 51%.
Dalam undang-undang tersebut ditetapkan semua penanaman modal harus berbentuk perusahaan patungan, namun pengecualian dapat diberikan yaitu dengan 2/3 suara dapat diizinkan penanaman modal oleh modal arab atau asing tanpa disyaratkan partisipasi lokal dari sector lainnya.
Dalam uu ini juga dimuat ketentuan tentang perselisihan hukum dengan negara lain yang mungkin dapat menghambat perkembangan pasar modal. Hal ini penting antara lain karena negara mesir mengadakan pengawasan atas setiap transfer valuta asing dan terhadap pembatasan keuntungan dari hasil penjualan kembali valuta tersebut. Kedua persyaratan tersebut dan persyaratan semacamnya kurang memberikan iklim yang menunjang tersselenggaranya pasar modal di mesir.[9]
6.    Nigeria
Sebuah undang-undang diterbitkan pada 1974 yang menggolongkan kegiatan dalam skedul 1 dan 2. Yang dimaksud dengan skedul 1 adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan sepenuhnya oleh orang Nigeria, yang relative memerlukan sedikit modal dan keahlian. Dalam bidang ini tenaga asing dilarang. Dalam skedul 2 terdapat 33 kegiatan usaha yang 60%nya dapat dimiliki asing, dengan syarat perusahaan tersebut telah menyetor modalnya melebihi $600,000 atau memiliki turn over melebihi $1,7 Juta.[10]
Setiap perusahaan yang didalamnya ada pemilikan asing, wajib mendaftar dalam waktu 1 tahun. Pemerintah mengumumkan pelaksanaan pendaftaran dan pemenuhan kewajiban tersebut dengan dimungkinkan bagi yang mempunyai minat mengambil alih bagi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Namun karena tidak ada ketentuan yang mensyaratkan manajemen harus dipegang oleh orang Nigeria, banyak perusahaan telah mentransfer pemilikan sahamnya kepada orang Nigeria dengan menyelenggarakan kontrak manajemen.
Atas dasar itu maka untuk menyelenggarakan transfer manajemen tersebut pemerintah telah membentuk lembaga keuangan khusus dengan tugas membiayai pembelian saham oleh orang Nigeria dan sebagai pembeli akhir dalam hal tidak ada orang lain yang membeli. Lembaga keuangan ini juga memberi jaminan kepada perusahaan Nigeria yang baru dibangun.[11]
7.    Filipina
Pemerintah filipina mengizinkan satu perusahaan modal asing pada tahap awalnya membentuk perusahaan yang 100% dimiliki asing sepanjang proyeknya masuk kategori pionir dengan syarat jumlah pemilikannya dikurangi sebanyak 60% untuk dimiliki oleh Filipina dalam waktu 30 tahun. Juga disyaratkan agar dalam waktu 15 tahun sahamnya daidaftar di Bursa. Jika perusahaan tersebut mengekspor 40% produksinya, maka ketentuan pendaftaran di Bursa dilakukan 10 tahun kemudian.
Secara umum, tidak ada perusahaan yang dimiliki oleh asing lebih dari 30% diizinkan melakukan kegiatan tanpa izin pemerintah. Serangkaian insentif diberikan dan penerapannya yang agak fleksibel, walaupun untuk beberapa hal juga rumit. Sebagai gambaran misalnya perusahaan telah melakukan kegiatan di Filipina dimana 40% sahamnya dimiliki asing, akan dikenakan keharusan untuk mengurangi pemilikan asing tersebut dalam waktu 5 sampai 15 tahun.
Pada umumnya, beberapa bidang kegiatan penanaman modal dilarang dilakukan oleh perusahaan asing, sedangkan target 60% dimiliki oleh orang Filipina tersebut diterapkan kepada perusahaan yang dikuasai oleh peserta asing[12].
Pengkategoriannya adalah sebagai berikut:
(1)  30% pemilikan peserta asing diizinkan untuk proyek baru tanpa persetujuan pemerintah.
(2)  Antara 30-40% pemilikan asing dapat diberikan persetujuan dengan mempertimbangkan kasusnya.
(3)  Diatas 40%, semua pemilikan harus ditangan orang Filipina dengan pengecualian jika proyek itu termasuk ketegori pionir.
(4)  Persyaratan tersebut diatas tampaknya kaku, sebab masing-masing memiliki kelemahan, sedangkan perlakuan sebagai pioner dalam jarak waktu 5-30 tahun dalam praktek cukup fleksibel.
8.    Taiwan
Perkembangan ekonomi di Taiwan menunjukan dinamika seperti halnya yang dilakukan Korea Selatan. Keadaan inflasi, korupsi, dan pengaruh sehabis perang di negaranya mempengaruhi jalannya pembangunan negara ini. Peranan bantuan luar negeri tercampur antara untuk kebutuhan pertahanan/militer dan penanggulangan ekonomi. Jiwa pengusaha seperti di Korea juga berkembang di Taiwan sehingga proses pengembangan usaha dan pengarahan kebijaksanaan pemerintah ditujukan untuk mendorong penanaman modal dan sekaligus diikuti dengan kebijaksanaan peningkatan penyertaan  modal nasional.
Kebijaksanaan peningkatan partisipasi nasional ini diselenggarakan agak fleksibel. Seorang penanam modal diizinkan memiliki 100% sahamnya, kecuali untuk perusahaan yang dapat menyaingi perusahaan lokal atau yang produksinya terutama untuk pasar lokal. Untuk dua jenis usaha tersebut terakhir diwajibkan mengatur pemilikan dengan bervariasi menurut sifat dan produksinya dan tingkat teknologi yang dipakai.
Setiap perusahaan didorong untuk menawarkan sahamnya keapada pegawai/karyawannya pada harga nominal (per value) sejumlah 10% pendapatan yang ditanam kembali (reinvested earnings). Namun yang sering terjadi para karyawan menunda atau tidak menggunakan haknya untuk membeli saham tersebut.[13]


DAFTAR PUSTAKA
Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1977 Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan
Law No. 43 of 1974
Labour Act,1974
Norman S. Poser, Securities regulation in developing countries: the brazillian experience, vol 52:1283.
Anonym, Ketergantungan perdagangan Korea terhadap luar negeri, http://world.kbs.co.kr/indonesian/archive/program/news_zoom.htm?no=5846, diakses pada tangga 10 Juni 2016.
Anonim, Malaysia Liberalisasi Ekonominya, http://www.dw.com/id/malaysia-liberalisasi-ekonominya/a-4445437, diakses pada tanggal 10 Juni 2016.
Restrictions on Foreign Direct Investment (FDI), http://madb.europa.eu/madb/barriers_details.htm?barrier_id=960156&version=12, Diakses pada tanggal 5 Juni 2016.
The Easy Guide to Foreign Equity Restrictions in the Philippines, http://full-suite.com/blog/guide-to-foreign-equity-restrictions-philippines/, diakses pada tanggal 5 juni 2016.







[1] Penjelasan Umun pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
[2] Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1977 Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan.
[3] Norman S. Poser, Securities regulation in developing countries: the brazillian experience, vol 52:1283.
[4] Anonym, Ketergantungan perdagangan Korea terhadap luar negeri, http://world.kbs.co.kr/indonesian/archive/program/news_zoom.htm?no=5846, diakses pada tangga 10 Juni 2016.
[5] Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, hlm. 130-131
[6] Ibid, hlm. 132.
[7] Anonim, Malaysia Liberalisasi Ekonominya, http://www.dw.com/id/malaysia-liberalisasi-ekonominya/a-4445437, diakses pada tanggal 10 Juni 2016.
[8] Restrictions on Foreign Direct Investment (FDI), http://madb.europa.eu/madb/barriers_details.htm?barrier_id=960156&version=12, Diakses pada tanggal 5 Juni 2016.
[9] Law No. 43 of 1974,
[10] Labour Act,1974
[11] Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, hlm. 134-135
[12] The Easy Guide to Foreign Equity Restrictions in the Philippines, http://full-suite.com/blog/guide-to-foreign-equity-restrictions-philippines/, diakses pada tanggal 5 juni 2016.
[13] Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, hlm. 135-136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar