1.
Latar
Belakang
Program
peningkatan pemilikan saham nasional pada penanaman modal asing di beberapa
negara pada dasarnya bukan merupakan hal baru. Program tersebut telah
dilaksanakan di beberapa negara, hanya pertimbangan dan latar belakangnya
berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Namun tujuannya
umumnya sama yaitu meningkatkan partisipasi pihak nasional ke dalam bentuk
pemilikan saham dalam perusahaan modal asing dan selanjutnya diarahkan kepada
tujuan pemilikan mayoritas.
Meningkatnya
kegiatan modal asing dalam bidang industri dan perdagangan baik di negara maju
maupun di negara sedang berkembang telah mendorong tuntutan ditingkatkannya
persyaratan pengawasan. Peningkatan penyertaan pemilikan saham dan persyaratan
pengawasan ini pun dengan demikian juga bukan hal baru dan justru telah dialami
bangsa maju maupun negara sedang berkembang. Banyak negara maju seperti
Prancis, kanada, Australia menjadi sensitif atas dominasi asing dalam sektor
industri dan perdagangan di negaranya. Karena itulah maka negara-negara sedang
berkembang juga umumnya sensitif terhadap dominasi modal asing atas modal
nasional di negaranya. Karena itulah negara-negara Brazil, Mesir, Korea,
Malaysia, Meksiko, Nigeria, Filipina, Taiwan, juga Indonesia telah melansir
program peningkatan partisipasi modal nasional dalam perusahaan modal asing.
Langkah
peningkatan partisipasi modal nasional dalam usaha modal asing tersebut melalui
proses diawali dengan pembentukan usaha sepenuhnya dimiliki asing, menuju
kepada bentuk perusahaan patungan dengan mayoritas asing dan pada gilirannya
penyertaan modal nasional meningkat menjadi mayoritas.
Umumnya
partisipasi modal nasional menjadi mayoritas merupakan kebijaksanaan negara
sedang berkembang seperti halnya juga di Indonesia.[1] Namun dalam pelaksanaannya
umumnya disertai pertimbangan prioritas dari bidang-bidang penanaman modal yang
bersangkutan. Karena itu, ada beberapa negara yang secara selektif mensyaratkan
partisipasi nasional mayoritas untuk bidang tertentu seperti: padat karya,
meningkatkan ekspor dan substitusi impor. Beberapa pertimbangan juga dikaitkan
dengan kebutuhan devisa dari negara untuk pembangunan ekonominya yang semula
dipenuhi dengan bantuan pinjaman luar negeri dan modal asing.
Di
sini tampak kompleksnya program peningkatan penyertaan modal nasional dalam
perusahaan modal asing, antara lain terkait dengan; kekhawatiran dominasi modal
asing dan usaha meningkatkan kemampuan nasional untuk melaksanakan partisipasi
tersebut sehingga berperan dalam tata ekonomi nasionalnya. Dua hal tersebut
membawa implikasi yang jauh dalam program pengaturan hukumnya.
Aspek-aspek
hukum yang mengatur program peningkatan partisipasi nasional juga bervariasi.
Pengaturan dalam Hukum Perseroan, UU Penanaman Modal, UU Pengawasan Lalu Lintas
Devisa, Kebijaksanaan penetapan prioritas penanaman modal dan UU Pasar Modal
serta serangkaian kebijaksanaan di bidang fiskal moneter, secara menyeluruh
terkait. Karena itu pelaksanaan program peningkatan partisipasi modal nasional
dalam perusahaan modal asing berkaitan secara multidisipliner. Dan dalam
pelaksanaannya harus mempertimbangkan aspek multidisipliner itu.
Strategi
pelaksanaannya juga terkait dengan beberapa aspek, perencanaan, kemampuan
menggali sumber dalam negeri, dan penciptaan iklim yang mantap sehingga
pihak-pihak yang bersangkutan dapat secara timbal balik menyambut program
peningkatan partisipasi nasional tersebut. Seperti halnya di Indonesia dalam
upaya peningkatan partisipasi nasional melalui pengakhiran kegiatan usaha asing
dalam bidang perdagangan hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tetap
terpelihara iklim usaha yang dapat menunjang penanaman modal dengan
memperhatikan aspek-aspek sosial politik dan keamanan dan ketertiban masyarakat
(KAMTIBMAS) untuk mencegah timbulnya kegoncangan-kegoncangan yang dapat
mengganggu stabilitas yang telah dicapai di berbagai bidang.[2]
Untuk
itu program peningkatan partisipasi nasional perusahaan modal asing di beberapa
negara perlu dipelajari, agar secara perbandingan dapat memperkuat pertimbangan
program peningkatan partisipasi pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
2.
Program
di beberapa negara
1. Brazilia
Program
penyertaan modal nasional dalam perusahaan modal asing oleh pemerintah Brazilia
diwali dengan melancarkan konsep “open capital corporation” pada 1965.[3] Tujuannya adalah untuk
mengawasi pemilikan saham asing dan meningkatkan penyertaan pihak nasional.
untuk pelaksanaannya didorong dengan serangkaian fasilitas-insentif.
Program
tersebut mempunyai ciri-ciri:
(1) Pemberian keringanan pajak pendapatan
sebesar 5% kepada perusahaan yang memenuhi syarat “open capital corporation”.
Kepada perusahaan yang masuk kategori open capital corporation tersebut disyaratkan
sekurang-kurangnya 10% sahamnya setiap tahun dimiliki peserta lokal sampai
berjumlah 50%.
(2) Perusahaan yang termasuk “open capital
company” mempunyai hak untuk pengurangan pajak deviden sampai jumlah yang
ditetapkan.
(3) Saham dari perusahaan “open capital
company” yang dibeli oleh lembaga mutual fund yang ditunjuk memperoleh insentif
pajak sehingga dapat menarik masyarakat untuk menanamkan modalnya dalam lembaga
tersebut.
(4) Pemilik saham dari “open capital
company” mendapat fasilitas keringanan pajak pendapatan 6% atas jumlah yang
dibeli di pasar modal dan 12% atas pembelian pada pasar perdana.
(5) Pemilik saham dari “open capital
company” dibebaskan dari persyaratan kena pajak atas $650 pertama dari deviden
yang diterimanya.
Sampai
1978 iklim penanaman modal asing di Brazilia tetap mantap walaupun peraturan
perundang-undangan tersebut sejak 1965 diberlakukan. Ada beberapa hal yang
merupakan ciri khas pengembangan pasar modal di Brazilia yaitu peran bantuan
luar negeri yang diarahkan untuk kegiatan underwriting dan untuk membuat pasar
modal likuid, sebagai resolving fund. Dana yang likuid ini dijadikan kredit
lagi underwriter dan market makers untuk
jangka waktu yang dibutuhkan guna membiayai pemegang surat berharga dalam
menjalankan perdagangan secara normal. Persediaan dana yang revolving untuk
para market maker tersebut akan menjamin para penanam modal bahwa mereka dapat
menjual surat berharga yang dipegangnya setiap saat, sehingga mereka tertarik
untuk membeli dan memperdagangkannya. Dengan demikian pasar modal itu dapat
menjembatani preferensi likuiditas yang tinggi dengan penyediaan modal jangka
panjang yang dibutuhkan untuk pembangunan. Hal ini berarti perusahaan yang
membutuhkan modal jangka panjang akan didorong untuk mengembangkan surat
berharga jangka panjangnya dalam pasar modal; sebagai pengganti dari pinjaman
langsung dari lembaga perbankan nasional/internasional. Lembaga ini hanya
memberika pinjaman untuk sebagian saja dari kebutuhan dana perusahaan tersebut.
Kredit tersebut umumnya menjadi berbentuk kredit obligasi atau stock market
credit kepada semua pembeli surat berharga jangka panjang dari proyek-proyek
yang disetujui. Pendekatan demikian telah berhasil meningkatkan partisipasi
modal nasioanal dalam kegiatan perusahaan pada umumnya.
2. Korea Selatan
Negara
ini selama hampir 10 tahun mengalami keadaan ketergantungan pada bantuan luar
negeri dan hingga akhir tahun 2010 Tingkat ketergantungan ekonomi Korea pada
ekspor dan impor dengan luar negeri tercatat paling tinggi di antara negara
anggota G20[4],
dengan tanpa ada harapan kemungkinan untuk meningkatkan perkembangan ekonominya
dari sumber-sumber di dalam negerinya. Keadaan pada saat itu juga tidak
menunjang pembangunan karena korupsi yang merajalela dan inflasi yang tidak
terkendali. Hal itu menyulitkan pembahasan mengenai bantuan luar negeri,
apalagi ekspor dari produk negara tersebut sangat kecil.
Keadaannya
sekarang telah berubah secara drastic. Pada saat ini perkembangan ekonomi di
korea selatan meningkat hamper 10% setiap tahunnya, ekspor meningkat sekitar
40% per tahunnya dan bantuan luar negeri telah berangsur-angsur menjadi
pinjaman dengan syarat-syarat komersil.
Pengalaman
korea ini menunjukkan bahwa bantuan luar negeri memberikan pengaruh yang
penting, walaupun faktor-faktor yang lainnya mungkin kurang menunjang.
Pengalaman ini juga menunjjukkan keberhasilan atas program bantuan luar negeri
dalam menetapkan kebijaksanaan untuk mencapai perkembangan ekonomi.
Dinilai
dari tahap-tahap pembangunannya, setelah perang dunia II, keadaan ekonomi di korea
tergantung dari pasar jepang. Kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh adalah
mempertahankan tingkat konsumsi yang ada dan mengusahakan bantuan luar negeri
sebesar mungkin untuk mengadakan pembangunan kembali sector industri dan
prasarana di negara tersebut. Kesulitan tersebut tergambar karena sumber-sumber
di dalam negeri sangat terbatas dan struktur administrasi negara tidak mampu
untuk meningkatkan efektivitas pungutan pajak atau atau melaksanakan pengawasan
pengawasan tanpa ada korupsi. Keadaan tersebut telah memaksa pemerintah korea
menetapkan kebijaksanaan menekan inflasi dengan program penghematan, sementara
program industry digalakkan melalui impor barang-barang modal.
Keterlibatan
pemerintah dalam anggaran dan investasi di sector industry meningkat dalam
bentuk program perkreditan. Demikian juga terhadap partisipasi modal pemerintah
dalam kegiatan industry yang cukup besar. Langkah-langkah selanjutnya telah
diambil melalui program penyertaan 50% modal nasional dalam perusahaan asing.
Pelaksanaannya dengan berbagai kebijakan penetapan prioritas proyek seperti:
1. Proyek padat karya;
2. Industry yang memproses bahan baku
lokal;
3. Industry prosesing di dalam bonded area;
4. Industry yang mempunyai pasaran dalam
negeri.
Dalam
hal ini program partisipasi nasional bersifat prospektif, dan fasilitas
penanaman modalnya ditetapkan sesuai dengan rasio kepemilikan saham yang
dipegang pihak asing terhadap total investasinya. Dan selanjutnya fasilitas
khusus diberikan untuk proyek tertentu yang dapat memenuhi kewajiban persyaratan
kepemilikan saham kepada pihak nasional dalam waktu yang ditetapkan. Program
ini diberlakukan untuk proyek prioritas yang didorong, dan pemerintah memberi
fasilitas tersebut kepada pihak yang siap menjual sahamnya yang telah
ditetapkan selama 5 tahun.[5]
3. Malaysia.
Di
Malaysia pemerintahnya menetapkan target untuk meningkatkan partisipasi
nasionalnya untuk semua kegiatan perdagangan dan industry sampai dengan 30%
dalam waktu 20 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya penyertaan 30% partisipasi
nasional tersebut ditingkatkan menjadi 51% khusus untuk sector penanaman modal
tertentu, seperti proyek yang mempunyai potensi ekspor, kegiatan penanaman
modal yang menyerap tenaga kerja, kegiatan penanaman modal yang mempunyai
status pionir dan proyek-proyek di sector pertanian, perikanan dan
pertambangan. Di sector lainnya ditetapkan persyaratan partisipasi penanaman
modal asing harus dikurangi menjadi kurang dari 49%, sedangkan partisipasi
dalam negeri ditingkatkan menjadi 30% selama 5 Tahun. Untuk penyelenggaraanyapemerintah
Malaysia membentuk trust fund yang bertugas membeli saham modal asing dan
memegangnya untuk didistribusikan/dijual kepada masyarakat malaisya. Unit trust
fund lainnya dibentuk dengan tugas untuk jual beli saham baru yang dicadangkan
untuk dijual kepada masyarakat malaisya.
Kebijakan
penanaman modal pemerintah malaisya ditujukan untuk:
1. Meningkatkan secara bertahap
redistribusi kekayaan dari pihak asing kepada pihak nasional.
2. Meyakinkan bahwa malaisya mempunyai hak
untuk partisipasi dalam kegiatan perdagangan dan industry di negaranya.
3. Menciptakan keseimbangan dalam
kepemilikan dan pengelolaan dalam kegiatan usaha nasional dana sing, sehingga
membantu dalam pembangunan ekonomi social sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Pendekatan
partisipasi nasional dalam kegiatan perdangangan dan industry oleh pihak
nasional telah menyebabkan banyak negara menjadi sensitive atas dominasi modal
asing di sector ekonomi mereka. Karena itu pola partisipasi nasional dalam
pemilikan dan pengelolaan ekonomi malaisya sangat diperlukan untuk penyelamatan
kegiatan tersebut dan untuk langkah-langkah pengarahannya.
Pada
tahun 1970 sekitar 60% saham modal dari total investasi di malaysia dimiliki
asing. Pemerintah negara tersebut merencanakan dengan langkah-langkah redistribusi,
dalam 20 tahun dominasi asing tersebutakan diturunkan menjadi 30%, sementara
itu arus penanaman modal secara riil tetap meningkat sesuai dengan perkembangan
ekonomi yang ada. Direncanakan pada tahun 1990 partisipasi modal nasional akan
5 kali lebih besar daripada tahun 1970, kemudian untuk penanaman modal asing
menjadi 45% saja dari total investasi di negara tersebut. Ruang gerak ekonomi
perdagangan dan industry di Malaysia cukup luas untuk menampung rencana
tersebut dan penanaman modal asing akan tetap didorong.
Pemerintah
malaisya yakin bahwa dengan langkah-langkah kebijakan tersebut akan membawa
kesatuan bangsa dengan dasar partisipasi yang wajar kepada semua warganya hal
ini juga akan memperkuat kestabilan politik yang ada di satu pihak dan juga kegiatan
investasinya menjadi aman dan pasti di pihak lain, sehingga jaminan keamanan
investasi tidak perlu lagi diminta dari hasil kestabilan politik, melainkan
pemerintah dengan pengarahan partisipasi dalam kegiatan investasi tersebut
diatas, dapat terbina hubungan kerja sama yang wajar tanpa ada prasangka
negative dari masing-masing pihak.[6]
Namun,
pada tahun 2009 malaysia menghapuskan kewajiban untuk menyisihkan 30% saham
perusahaan untuk etnis Melayu atau bumiputra. Pemerintah Malaysia juga telah
menghapus peraturan mengenai investasi asing. Kebijakan tersebut melonggarkan
batasan jumlah saham yang dapat dimiliki oleh investor asing di sektor
finansial. Dari 49% ditingkatkan menjadi 70%. Sektor lain pun diliberalisasi
guna meningkatkan investasi asing di Malaysia.[7]
4. Meksiko
Pemerintah
meksiko membatasi pemilikan saham asing sampai dengan 49% untuk beberapa sector
tertentu bahkan lebih kecil. Ada beberapa pengaturan “trust” untuk mengurangi
saham yang dimiliki asing. Walaupun pemilikan saham gadungan (stroomen)
dilarang, tetapi pelaksanaanya sulit. Beberapa kasus dapat ditemui dimana satu
bank membeli saham dan menahannya untuk untuk selanjutnya dijual pada
masyarakat meksiko dengan pengertian bahwa bank tidak menerima penghasilan dari
saham yang dimiliki akan tetapi memiliki hak suara. Dalam program ini
pemerintah meksiko memberikan insentif, terutama diberikan kepada perusahaan
asing yang menunjang pembangunan ekonomi meksiko. Pemberian insentif demikian
merupakan program kebijakan yang fleksibel.
Semua
saham yang dimiliki asing di meksiko harus atas tunjuk. Hal ini penting
kaitannya berhubung bagian terbesar dari perusahaan di meksiko dimiliki asing,
termasuk media massa, keuangan, transportasi, perbangkan, dan kegiatan kegiatan
yang semula dicadangkan untuk dikelola oleh negara seperti minyak, pertambangan
dan tenaga nuklir.[8]
5. Mesir.
Pemerintah
mesir pada tahun 1974 menerbitkan Undang-undang baru tentang penanaman modal
dalam negeri dan asing. Proyek yang terbuka bagi penanaman modal tersebut
secara luas dirumuskan, sehingga termasuk dalam bidang intangible seperti
paten. Namun demikian, di sector perbangkan yang mengelola transaksi mata uang
lokal hanya diizinkan dalam bentuk usaha patungan dengan partisipasi lokal 51%.
Dalam
undang-undang tersebut ditetapkan semua penanaman modal harus berbentuk
perusahaan patungan, namun pengecualian dapat diberikan yaitu dengan 2/3 suara
dapat diizinkan penanaman modal oleh modal arab atau asing tanpa disyaratkan
partisipasi lokal dari sector lainnya.
Dalam
uu ini juga dimuat ketentuan tentang perselisihan hukum dengan negara lain yang
mungkin dapat menghambat perkembangan pasar modal. Hal ini penting antara lain
karena negara mesir mengadakan pengawasan atas setiap transfer valuta asing dan
terhadap pembatasan keuntungan dari hasil penjualan kembali valuta tersebut.
Kedua persyaratan tersebut dan persyaratan semacamnya kurang memberikan iklim
yang menunjang tersselenggaranya pasar modal di mesir.[9]
6. Nigeria
Sebuah
undang-undang diterbitkan pada 1974 yang menggolongkan kegiatan dalam skedul 1
dan 2. Yang dimaksud dengan skedul 1 adalah kegiatan-kegiatan yang telah
dilaksanakan sepenuhnya oleh orang Nigeria, yang relative memerlukan sedikit
modal dan keahlian. Dalam bidang ini tenaga asing dilarang. Dalam skedul 2
terdapat 33 kegiatan usaha yang 60%nya dapat dimiliki asing, dengan syarat
perusahaan tersebut telah menyetor modalnya melebihi $600,000 atau memiliki
turn over melebihi $1,7 Juta.[10]
Setiap
perusahaan yang didalamnya ada pemilikan asing, wajib mendaftar dalam waktu 1
tahun. Pemerintah mengumumkan pelaksanaan pendaftaran dan pemenuhan kewajiban
tersebut dengan dimungkinkan bagi yang mempunyai minat mengambil alih bagi yang
tidak memenuhi ketentuan tersebut. Namun karena tidak ada ketentuan yang
mensyaratkan manajemen harus dipegang oleh orang Nigeria, banyak perusahaan
telah mentransfer pemilikan sahamnya kepada orang Nigeria dengan
menyelenggarakan kontrak manajemen.
Atas
dasar itu maka untuk menyelenggarakan transfer manajemen tersebut pemerintah
telah membentuk lembaga keuangan khusus dengan tugas membiayai pembelian saham
oleh orang Nigeria dan sebagai pembeli akhir dalam hal tidak ada orang lain
yang membeli. Lembaga keuangan ini juga memberi jaminan kepada perusahaan
Nigeria yang baru dibangun.[11]
7. Filipina
Pemerintah
filipina mengizinkan satu perusahaan modal asing pada tahap awalnya membentuk
perusahaan yang 100% dimiliki asing sepanjang proyeknya masuk kategori pionir
dengan syarat jumlah pemilikannya dikurangi sebanyak 60% untuk dimiliki oleh
Filipina dalam waktu 30 tahun. Juga disyaratkan agar dalam waktu 15 tahun
sahamnya daidaftar di Bursa. Jika perusahaan tersebut mengekspor 40%
produksinya, maka ketentuan pendaftaran di Bursa dilakukan 10 tahun kemudian.
Secara
umum, tidak ada perusahaan yang dimiliki oleh asing lebih dari 30% diizinkan
melakukan kegiatan tanpa izin pemerintah. Serangkaian insentif diberikan dan
penerapannya yang agak fleksibel, walaupun untuk beberapa hal juga rumit.
Sebagai gambaran misalnya perusahaan telah melakukan kegiatan di Filipina
dimana 40% sahamnya dimiliki asing, akan dikenakan keharusan untuk mengurangi
pemilikan asing tersebut dalam waktu 5 sampai 15 tahun.
Pada
umumnya, beberapa bidang kegiatan penanaman modal dilarang dilakukan oleh
perusahaan asing, sedangkan target 60% dimiliki oleh orang Filipina tersebut
diterapkan kepada perusahaan yang dikuasai oleh peserta asing[12].
Pengkategoriannya
adalah sebagai berikut:
(1) 30% pemilikan peserta asing diizinkan
untuk proyek baru tanpa persetujuan pemerintah.
(2) Antara 30-40% pemilikan asing dapat diberikan
persetujuan dengan mempertimbangkan kasusnya.
(3) Diatas 40%, semua pemilikan harus
ditangan orang Filipina dengan pengecualian jika proyek itu termasuk ketegori
pionir.
(4) Persyaratan tersebut diatas tampaknya
kaku, sebab masing-masing memiliki kelemahan, sedangkan perlakuan sebagai
pioner dalam jarak waktu 5-30 tahun dalam praktek cukup fleksibel.
8. Taiwan
Perkembangan
ekonomi di Taiwan menunjukan dinamika seperti halnya yang dilakukan Korea
Selatan. Keadaan inflasi, korupsi, dan pengaruh sehabis perang di negaranya
mempengaruhi jalannya pembangunan negara ini. Peranan bantuan luar negeri
tercampur antara untuk kebutuhan pertahanan/militer dan penanggulangan ekonomi.
Jiwa pengusaha seperti di Korea juga berkembang di Taiwan sehingga proses
pengembangan usaha dan pengarahan kebijaksanaan pemerintah ditujukan untuk
mendorong penanaman modal dan sekaligus diikuti dengan kebijaksanaan
peningkatan penyertaan modal nasional.
Kebijaksanaan
peningkatan partisipasi nasional ini diselenggarakan agak fleksibel. Seorang
penanam modal diizinkan memiliki 100% sahamnya, kecuali untuk perusahaan yang
dapat menyaingi perusahaan lokal atau yang produksinya terutama untuk pasar
lokal. Untuk dua jenis usaha tersebut terakhir diwajibkan mengatur pemilikan
dengan bervariasi menurut sifat dan produksinya dan tingkat teknologi yang
dipakai.
Setiap
perusahaan didorong untuk menawarkan sahamnya keapada pegawai/karyawannya pada
harga nominal (per value) sejumlah 10% pendapatan yang ditanam kembali
(reinvested earnings). Namun yang sering terjadi para karyawan menunda atau
tidak menggunakan haknya untuk membeli saham tersebut.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1987
Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang
didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1977 Tentang Pengakhiran Kegiatan
Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan
Law No.
43 of 1974
Labour
Act,1974
Norman S.
Poser, Securities regulation in developing countries: the brazillian
experience, vol 52:1283.
Anonym, Ketergantungan perdagangan Korea terhadap
luar negeri,
http://world.kbs.co.kr/indonesian/archive/program/news_zoom.htm?no=5846,
diakses pada tangga 10 Juni 2016.
Anonim,
Malaysia Liberalisasi Ekonominya,
http://www.dw.com/id/malaysia-liberalisasi-ekonominya/a-4445437, diakses pada
tanggal 10 Juni 2016.
Restrictions
on Foreign Direct Investment (FDI),
http://madb.europa.eu/madb/barriers_details.htm?barrier_id=960156&version=12,
Diakses pada tanggal 5 Juni 2016.
The Easy
Guide to Foreign Equity Restrictions in the Philippines, http://full-suite.com/blog/guide-to-foreign-equity-restrictions-philippines/,
diakses pada tanggal 5 juni 2016.
[1]
Penjelasan Umun pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan
Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
[2]
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1977
Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan.
[3]
Norman S. Poser, Securities regulation in developing countries: the brazillian
experience, vol 52:1283.
[4]
Anonym, Ketergantungan perdagangan Korea
terhadap luar negeri, http://world.kbs.co.kr/indonesian/archive/program/news_zoom.htm?no=5846,
diakses pada tangga 10 Juni 2016.
[5]
Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1987, hlm. 130-131
[6]
Ibid, hlm. 132.
[7]
Anonim, Malaysia Liberalisasi Ekonominya, http://www.dw.com/id/malaysia-liberalisasi-ekonominya/a-4445437,
diakses pada tanggal 10 Juni 2016.
[8] Restrictions
on Foreign Direct Investment (FDI), http://madb.europa.eu/madb/barriers_details.htm?barrier_id=960156&version=12,
Diakses pada tanggal 5 Juni 2016.
[9] Law
No. 43 of 1974,
[10]
Labour Act,1974
[11]
Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan potensi pasar modal Indonesia, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1987, hlm. 134-135
[12] The
Easy Guide to Foreign Equity Restrictions in the Philippines, http://full-suite.com/blog/guide-to-foreign-equity-restrictions-philippines/,
diakses pada tanggal 5 juni 2016.
[13]
Dr. Sumartono, Aspek-aspek hukum dan
potensi pasar modal Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, hlm.
135-136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar